Aerodinamika Pesawat Terbang
Aerodinamika Pesawat Udara
Pada prinsipnya, pada saat pesawat mengudara, terdapat “4 Gaya Utama” yang bekerja pada pesawat, yakni “Gaya Dorong/Thrust” (T), “Hambatan/Drag (D), “Gaya Angkat/Lift” (L), dan “Berat Pesawat/Weight” (W). Pada saat pesawat sedang menjelajah (Cruise) pada kecepatan dan ketinggian konstan (Straight And Level Flight), ke-4 gaya tersebut berada dalam kesetimbangan: T = D dan L = W. Sedangkan pada saat pesawat take off dan landing, terjadi akselerasi dan deselerasi yang dapat dijelaskan menggunakan Hukum II Newton (Total gaya adalah sama dengan massa dikalikan dengan percepatan).
Pada saat Take Off, pesawat mengalami akselerasi dalam arah horizontal dan vertikal. Pada saat ini, L harus lebih besar dari W, demikian juga T lebih besar dari D.
Dengan demikian diperlukan daya mesin yang besar pada saat Take Off.
Gagal Take Off bisa disebabkan karena kurangnya daya mesin (karena
berbagai hal: kerusakan mekanik, human error, gangguan eksternal, dsb), ataupun gangguan pada sistem kontrol pesawat.
Dibalik Terbangnya Pesawat
Sebagian besar pesawat komersial saat ini menggunakan mesin “Turbofan”. Turbofan berasal dari dua kata, yakni “Turbin” dan “Fan”. Komponan fan merupakan pembeda antara mesin ini dengan Turbojet. Pada mesin turbojet, udara luar dikompresi oleh Kompresor hingga mencapai tekanan tinggi. Selanjutnya udara bertekanan tinggi tersebut masuk ke dalam ruang bakar (Combustion Chamber) untuk dicampurkan dengan bahan bakar (Fuel) yaitu Avtur.
Pembakaran
udara bahan bakar tersebut akan meningkatkan temperatur dan tekanan
fluida kerja. Fluida bertekanan tinggi ini selanjutnya dilewatkan
melalui turbin dan keluar pada “Nozzle” dengan kecepatan yang sangat tinggi. Perbedaan kecepatan udara masuk dan fluida keluar dari mesin menciptakan gaya dorong T (Hukum III Newton: Aksi dan Reaksi). Gaya dorong T ini dimanfaatkan untuk bergerak dalam arah horizontal dan sebagian diubah oleh sayap pesawat menjadi gaya angkat L.
Fan pada mesin Turbofan berfungsi memberikan tambahan laju udara yang memasuki mesin melalui “Bypass Air”.
Udara segar ini akan bertemu dengan campuran udara bahan bakar yang
telah terbakar di ujung luar mesin. Salah satu keuntungan penggunaan
turbofan adalah dia mampu meredam kebisingan suara pada turbojet. Namun
karena turbofan memiliki susunan komponen yang relatif kompleks, maka
mesin jenis ini sangat rentan terhadap gangguan FOD (Foreign Object Damage) dan pembentukan es di dalam mesin. Masuknya FOD (seperti burung) ke dalam mesin bisa menyebabkan kejadian fatal pada pesawat.
SAYAP: Mengubah T menjadi L
Hingga saat ini, setidaknya ada 3 penjelasan yang diterima untuk fenomena munculnya gaya angkat pada sayap: Prinsip Bernoulli, Hukum III Newton, dan Efek Coanda. Sayap pesawat memiliki kontur potongan melintang yang unik: “Airfoil”. Pada airfoil, permukaan atas sedikit melengkung membentuk kurva cembung, sedangkan permukaan bawah relatif datar.
Bila sekelompok udara mengenai kontur airfoil ini, maka ada kemungkinan
bahwa udara bagian atas akan memiliki kecepatan lebih tinggi dari
bagian bawah: hal ini disebabkan karena udara bagian atas harus melewati
jarak yang lebih panjang (permukaan atas airfoil adalah cembung)
dibandingkan udara bagian bawah.
Prinsip Bernoulli menyatakan bahwa “Semakin tinggi kecepatan fluida (untuk ketinggian yang relatif sama), maka tekanannya akan mengecil”. Dengan demikian akan terjadi perbedaan tekanan antara udara bagian bawah dan atas sayap. Hal inilah yang mencipakan gaya angkat L. Penjelasan dengan prinsip Bernoulli ini masih menuai pro kontra; namun penjelasan ini pulalah yang digunakan Boeing untuk menjelaskan prinsip gaya angkat.
Penjelasan menggunakan Hukum III Newton menekankan pada prinsip perubahan momentum manakala udara dibelokkan oleh bagian bawah sayap pesawat. Dari prinsip aksi=reaksi,
muncul gaya pada bagian bawah sayap yang besarnya sama dengan gaya yang
diberikan sayap untuk membelokkan udara. Sedangkan penjelasan
menggunakan efek Coanda menekankan pada beloknya kontur udara
yang mengalir di bagian atas sayap. Bagian atas sayap pesawat yang
cembung memaksa udara untuk mengikuti kontur tersebut. Pembelokan kontur
udara tersebut dimungkinkan karena adanya daerah tekanan rendah pada
bagian atas sayap pesawat (atau dengan penjelasan lain: pembelokan
kontur udara tersebut menciptakan daerah tekanan rendah). Perbedaan
tekanan tersebut menciptakan perbedaan gaya yang menimbulkan gaya angkat
L. Meski belum ada konsensus resmi mengenai mekanisme yang paling
akurat untuk menjelaskan munculnya fenomena gaya angkat, yang jelas
sayap pesawat berhasil mengubah sebagian gaya dorong T mesin menjadi gaya angkat L.
Kontrol Gerak Pesawat
Pesawat terbang memiliki kemampuan bergerak dalam tiga sumbu, yakni PITCH, ROLL, dan YAW. Gerak naik turunnya hidung pesawat dikontrol oleh ELEVATOR, gerak naik turunnya sayap pesawat dikontrol oleh AILERON, sedangkan gerak berbelok dalam bidang horizontal dikontrol oleh RUDDER yang berada di sirip (FIN) pesawat. Selain itu, dibagian belakang sayap juga terdapat FLAP yang berfungsi membantu meningkatkan gaya angkat pada saat take off maupun mengurangi gaya angkat pada saat landing (Air Brake). Pada saat menjelajah (cruise) flap ini akan masuk ke dalam sayap untuk mengurangi gaya hambat D pesawat.
Kecelakaan Pesawat Pada Saat Take Off : Beberapa Kasus [1]
Sebagian besar kecelakaan pesawat pada saat take off terjadi karena kegagalan fungsi mesin yang muncul karena berbagai sebab. Kegagalan fungsi mesin tersebut bisa disebabkan karena kerusakan pada komponen mesin itu sendiri, kerusakan pada daerah di dekat mesin yang berimbas pada mesin, kebocoran dan terbakarnya tanki bahan bakar, ataupun kerusakan sistem kontrol pesawat, ataupun "HUMAN ERROR". Di bawah ini akan diberikan gambaran kasus kecelakaan pesawat pada saat take off.
Air Florida Flight 90, January 13, 1982, menewaskan 78 orang
Air
Florida Flight 90 menggunakan Boeing 737-222 pada saat take off dari
Bandara Washington dalam kondisi cuaca yang sangat dingin. Sesaat
setelah take off, pesawat tersebut gagal untuk mencapai ketinggian, dan
jatuh di Sungai Potomac setelah sebelumnya sempat menghantam 5 kendaraan
di high way. Dari penyelidikan, diduga pilot tidak mengaktifkan sistem
anti-es. Sehingga indicator EPR (Engine Pressure Ratio)
memberikan pembacaan indicator dengan kesalahan tinggi: seharusnya untuk
take off diperlukan EPR 2.04, namun karena kesalahan indikator, mesin
hanya memproduksi EPR 1.7. Pesawat memang berhasil mengudara, namun dia
gagal mendapatkan ketinggian karena kurangnya daya pesawat.
Air France Flight 4590 (Concorde), menewaskan 113 orang
Sebelum musibah ini, penerbangan Concorde
merupakan penerbangan teraman, karena belum mengalami satu pun musibah
fatal. Musibah ini ternyata mengubah perjalanan penerbangan Concorde
selanjutnya; yang mungkin diperkuat dengan berbagai faktor lain,
menyebabkan penerbangan ini ditutup selamanya. Pada 25 Juli 2000,
Concorde ini lepas landas dari Bandara Internasional Charles de Gaulle di dekat Paris.
Penyelidikan
atas kasus ini mengungkapkan bahwa terdapat lempeng titanium yang
terjatuh dari penerbangan sebelumnya, yakni Continental Airlines DC 10,
yang kemudian mengenai bagian roda Concorde. Titanium tersebut mampu
merobek ban Concorde, dan selanjutnya serpihan ban (4.5 kg) dengan
kecepatan sangat tinggi (300 km/jam) tersebut menghantam bagian sayap. Rambatan tekanan dan getaran akibat benturan tersebut mengkoyakkan tanki yang berisi penuh bahan bakar. Kedua
mesin pesawat segera mati, dan Concorde jatuh menimpa sebuah hotel.
Jumlah total korban meninggal pada kecelakaan ini sebanyak 113 orang
yang meliputi awak dan penumpang pesawat serta orang yang tertimpa
pesawat.
American Airlines Flight 587, menewaskan 260 orang
Pada
12 November 2001, Penerbangan pesawat Airbus A300-600 yang digunakan
American Airlines dengan nomor penerbangan 587 jatuh tak lama setelah
take off dari Bandara Internasional John F Kennedy. Karena berdekatan
waktunya dengan tragedi September 11, sempat muncul dugaan bahwa
"terorisme" merupakan penyebab jatuhnya pesawat tersebut. Pesawat ini
melaju di runway yang baru saja dilalui Boeing 747. Melajunya objek
sebesar pesawat terbang dengan kecepatan tinggi tentu saja menimbulkan
turbulensi udara yang cukup intens. Turbulensi udara tersebut mengganggu
jalannya Airbus A300-600 yang mencoba take off.
Pilot
mencoba menggunakan rudder untuk mengendalikan jalannya pesawat, namun
pilot terlalu jauh menggunakan rudder tersebut dan kemudian
mengkoreksinya dengan menggerakkan rudder ke arah yang berlawanan: juga
terlalu jauh. Gerakan rudder yang sangat besar dan dalam waktu yang singkat tersebut mencipakan tegangan (stress) yang sangat besar di bagian ekor pesawat. Pada akhirnya bagian ekor pesawat tersebut patah, dan menyebabkan pilot kehilangan kontrol atas pesawat.
Pihak Airbus dan American Airlines saling menyalahkan: di satu sisi American Airlines menuding Airbus menggunakan fly by wire
pada rudder yang tidak biasa, yakni tekanan pada pedal penggerak rudder
diset konstan pada berbagai kondisi kecepatan pesawat (biasanya untuk
kecepatan pesawat yang semakin besar, tekanan pedal untuk menggerakkan
rudder juga semakin besar), di sisi lain, Airbus menuding American
Airlines tidak melakukan pilot training yang sesuai dengan karakteristik
pesawat Airbus.
Emergency
& Disaster Management Inc. [2] mencatat 13 kecelakaan pesawat
terbang di seluruh dunia yang berkaitan dengan saat take off dan landing
terjadi pada pesawat Boeing berbagai seri selama tahun 2000-2004; dan
lebih khusus lagi sebanyak 8 kejadian diantaranya menimpa pesawat Boeing
seri 737. Serupa dengan penjelasan pada paragraf sebelumnya, penyebab
kecelakaan saat take off dan landing tersebut juga berasal dari berbagai
sumber: human error, faktor eksternal, gangguang mesin, dll.
Mandala Airlines Flight 091
Ada
beberapa informasi dari media massa (Suara Merdeka) yang menyebutkan
bahwa saksi mata melihat adanya asap hitam keluar dari bagian belakang
pesawat. Juga penuturan penumpang yang selamat (Tempo Interaktif) yang
menyebutkan bahwa mereka mendengar dentuman dan kemudian pesawat terasa
kehilangan tenaga. Selain itu ada juga saksi mata yang menyebutkan bahwa
pesawat terlihat seperti hendak berbelok sebelum akhirnya jatuh.
menilik penjelasan yang teramat minim tersebut, bila seandainya benar
terjadi yang demikian, maka ada kemungkinan bahwa penyebab jatuhnya
Mandala Airlines Flight 091 tersebut adalah kerusakan mesin. Beloknya
arah pesawat bisa jadi disebabkan karena matinya salah satu mesin.
Ketidakseimbangan gaya dorong bisa menyebabkan beloknya pesawat. Namun
perlu digarisbawahi bahwa dari paparan sebelumnya bisa dimengerti bahwa
kerusakan mesin (bila benar terjadi demikian) tersebut tidak semata-mata
berkorelasi dengan umur pesawat. Banyak faktor eksternal dan internal
yang memungkinkan terjadinya kerusakan mesin.
Dari
paparan di atas dapat dilihat bahwa kecelakaan pesawat pada saat take
off terjadi di berbagai negara, juga di Amerika Serikat yang dikenal
memiliki prosedur kerja yang baik. Umur dan kondisi pesawat yang
mengalami kecelakaan pada saat take off juga bervariasi, bukan hanya
menimpa pesawat berumur. Meski tidak menafikan faktor rendahnya harga
tiket yang mungkin berujung pada kualitas pemeliharaan pesawat, namun
menimpakan kecurigaan semata-mata hanya pada rendahnya biaya tiket yang
berkorelasi dengan perawatan pesawat nampaknya tidaklah bijak. Banyak
faktor eksternal dan internal yang berpotensi menyebabkan kegagalan
pengoperasian sebuah pesawat.