Logo Design by FlamingText.com

Selamat Datang

Selamat Datang
"Terima Kasih dan Mohon di Share Jika Konten Ini Bermanfaat"
"Peace, Love, Life and Fun"

Kamis, 26 September 2013

TENTANG F 1



Larangan Mengubah Engine Mapping, Mampukah Menghambat RBR?
Pada dunia F1 modern, grip lebih penting daripada power, mengapa?
Ada dua alasan. Pertama, engine F1 telah di-freeze tanpa pengembangan sejak akhir Musim 2006. Engine mobil saat ini, adalah sama persis dengan engine mobil di Musim 2006 lalu. Alasan kedua adalah, andaikan engine tidak di-freeze pun, tidak ada gunanya menambah power jika grip tidak bertambah. Power yang ada saat ini sudah excessive alias berlebihan. Jika grip tidak baik, maka power tidak terdeliver dengan baik dan hanya membuat ban mobil skidding tanpa membuat keuntungan apapun.

Untuk memaksimalkan grip, ada dua cara yang dapat ditempuh. Cara mekanis dan cara aerodinamis sehingga ada istilah mechanical-grip dan aerodynamic-grip. Mechanical-grip adalah grip yang berasal dari setingan komponen mekanis mobil yang berhubungan dengan gaya-normal (gaya vertikal ke arah bawah) bawah yang diterima oleh ban. Faktor-faktor yang mempengaruhi mechanical-grip adalah setingan suspensi, antiroll-bar, bobot mobil, distribusi berat, dan distribusi pengereman. Sedangkan aerodinanic-grip adalah grip yang berasal dari gaya akibat aliran angin yang terkonversi menjadi grip berkat ”bantuan” komponen-komponen aero seperti sayap, fins, diffuser dan sejenisnya.

FIA, yang memang selalu berusaha menghambat laju mobil F1 demi alasan keamanan dan keseruan balapan, banyak sekali mengeluarkan aturan dan batasan yang tujuannya adalah menghambat grip, baik aerodynamic-grip maupun mechanical-grip. Di area ini, para insinyur dan desainer mobil hampir tidak mendapat ruang untuk improvisasi dan berinovasi karena batasan yang begitu ketat. Namun bukan insinyur F1 namanya jika mereka tidak mampu untuk melihat peluang dan lubang di dalam regulasi FIA demi untuk mendapatkan tujuan utama desain mobil F1 saat ini, more grip!

Satu area yang sebelumnya tidak terpikir bahwa ternyata dapat pula menyumbangkan grip bagi ban dan membuat mobil lebih lincah dan kencang adalah ECU alias Electronic Control Unit. Bagaimana bisa? Bukankah ECU hanya punya urusan terhadap engine saja, apakah ECU juga bisa menambah grip? “Tentu saja bisa”, ini mungkin yang menjadi jawaban Adrian Newey dan tim desainernya pada awal musim 2010 lalu.

Kembali ke masalah grip dan ECU. Peran ECU dalam menyediakan grip yang lebih besar “dijembatani” oleh inovasi usang bernama “blown-diffuser”. Tanpa peran ECU, blown diffuser tidak berguna dan hanya dipakai oleh mobil F1 kuno di era pertengahan 80-an dan sudah ditinggalkan orang sejak awal 90-an. Tetapi di tangan Adrian Newey dan team desainernya, blown-diffuser dan ECU adalah satu kekuatan “sinergi-baru”. ECU membuat mesin tetap menyediakan tekanan exhaust saat pembalap mengangkat pedal gasnya saat tiba di tikungan. Hasilnya, di Musim 2010, ban RBR lebih grippy di tikungan dibanding mobil lain, dan inovasi ini dicontek abis di Musim ini oleh hampir seluruh mobil yang berlomba di atas trek. Jadilah ini inovasi yang banyak dikenal orang sebagai “Off-throttle blown diffuser (OTBD)”. Mekanisme OTBD, secara garis besar, adalah bahwa RBR melakukan engine re-mapping pada ECU mereka sehingga pembakaran di silinder ruang bakar engine tetap terjadi walau pembalap melepas injakan mereka pada pedal gasnya. Caranya, engine mapping yang menginstruksikan pada throttle untuk tetap terbuka sebagian walau pedal gas tidak terinjak untuk membuat ada aliran bahan bakar dan udara yang mengalir ke dalam silinder pembakaran. Pembakaran yang terjadi tidak termanfaatkan menjadi power engine (karena memang tidak diperlukan) melainkan langsung dialirkan ke saluran buang untuk membantu kerja diffuser menyediakan ground effect di kolong mobil. Bagaimana bisa pembakaran tidak menjadi power untuk engine? Lagi-lagi ini peran engine mapping di ECU. Kondisi ini bisa terjadi karena engine mapping mengintruksikan busi untuk menyala di akhir langkah kerja piston sehingga tekanan akibat pembakaran bukan mendorong piston melakukan langkah kerja melainkan menghambat laju piston yang akhirnya menambah efek engine-braking dan selanjutnya membantu kerja diffuser seperti yang telah dijelaskan di atas.
Namun demikian, walau mekanisme OTBD memberi dua keuntungan (engine braking lebih besar dan ground-effect yang lebih baik) saat menikung, kerugian yang cukup signifikan juga harus “dibayar” yaitu tingkat konsumsi bahan bakar yang lebih boros, mengingat bahan bakar tetap terpakai dan terbakar walau pedal gas tidak diinjak. Karena itu, RBR mengatur engine-mappingnya sedemikian rupa sehingga efek OTBD ini lebih besar terjadi pada kualifikasi dan dibuat kecil saja pada saat race. Pada kualifikasi, di mana mobil hanya menempuh beberap lap saja, konsumsi bahan bakar yang lebih besar bukan tidak terlalu menjadi persoalan. Tetapi pada saat balapan, konsumsi bahan bakar harus lebih diperhatikan karena menyangkut masalah bobot mobil saat start dan masalah realibility komponen mesin.

Engine mapping yang berbeda antara kualifikasi dan balapan inilah yang membuat mobil RBR amat perkasa di saat kualifikasi, dalam beberapa kali kualifikasi bahkan Vettel mampu mencatat perbedaan waktu hampir satu detik per lap dengan pembalap di P2, tetapi kehilangan pacenya pada saat race, walau tetap kencang.

FIA telah mengantisipasi “trick” di atas dengan cara melarang tim untuk mengubah engine mapping ini pada periode setelah kualifikasi dan saat start lomba. Bersama dengan larangan terhadap OTBD, larangan untuk mengubah engine mapping akan membuat mobil kehilangan ground-effect secara signifikan dan akan menambah laptime beberapa milliseconds. Tetapi apakah ini akan memotong keunggulan RBR terhadap team lain, yang nampaknya menjadi “tujuan utama” FIA mengeluarkan larangan-larangan ini? Saya punya keyakinan bahwa jawaban atas pertanyaan ini adalah “tidak”. RBR tetap akan unggul di musim dua alasan, pertama, OTBD sudah dimanfaatkan oleh hampir seluruh team sehingga kehilangan OTBD adalah merupakan kerugian bersama. Alasan kedua, secara karakter, mobil RBR tahun ini adalah mobil terbaik yang mampu beradaptasi lebih baik terhadap ban Pirelli dibanding mobil-mobil lain di lintasan.(roy)


F-Duct? Apaan sih itu?
Setiap awal musim, biasanya selalu selau ada issue yang jadi pro-kontra dan perdebatan. Di Musim 2007 movable-floor Ferrari menjadi topik hangat, di musim berikutnya KERS dan standarisasi ECU issue penting dan di Musim 2009 giliran double-deck diffuser yang menjadi perdebatan. Musim ini, Tim McLaren yang menjadi trigger dalam hal inovasi. Mereka muncul di Musim ini dengan inovasi cerdik berupa saluran udara dari pangkal nose mobil yang mengalirkan udara ke engine-cover yang biasa disebut orang sebagai shark-fin, karena bentuknya yang mirip sirip hiu, dan kemudian dialirkan menuju sayap belakang. Saluran udara khusus ini lalu mendapatkan sebutan “f-duct” oleh media karena bentuk saluran masuk udara yang menyerupai huruf “f”.Tantangan bagi mobil balap modern adalah efisiensi aerodinamikanya. Goal dari setiap pekerjaan aero-engineer adalah bagaimana mencari desain komponen dan integrasi antar komponen itu sedemikian rupa agar mempunyai efisiensi aero yang setinggi mungkin. Efisiensi aero yang tinggi berarti mempunyai downforce besar dengan drag atau hambatan angin yang kecil. Masalahnya, tipikal komponen aerodinamika biasanya mempunyai kenaikan downforce yang sebanding dengan kenaikan dragforce.

Dalam desain mobil F1 modern, sayap belakang adalah komponen yang paling besar menyumbangkan drag atau hambatang angin. Di dalam Tabel-1 terlihat bahwa sumbangan drag dari sayap belakang bahkan lebih dari 30%. Padahal kedua ban belakang yang bentuknya besar dan tidak aerodinamis serta permukaan bagian atasnya bergerak berlawanan dengan arah angin datang saja “hanya” mengumbang sekitar 20% drag saja. Dengan demikian, mengurangi drag pada sayap belalang adalah termasuk upaya yang menjadi perhatian para insinyur desain di F1.

Namun demikian, mengurangi drag di sayap belakang tidaklah mudah karena mengubah sudut-serang sayap menjadi lebih landai juga akan berakibat menurunkan downforce yang berguna memberikan grip pada ban belakang. Grip pada ban belakang sangat dibutuhkan pada akselerasi terutama setelah mobil keluar dari tikungan. Berapa usaha telah dilakukan, misalnya menambahkan jumlah lempeng sayap. Sayap dengan multiple-plates yang dibuat bertumpuk dapat meningkatkan efisiensi aerodinamika karena aliran angin akan lebih stabil tidak mudah mengalami separated-flow yang merupakan awal dari aliran turbulen yang merugikan bagi aerodinamika. Di awal musim 2000-an jumlah lempeng sayap belakang biasanya ada dua dan sayap depan bahkan terdiri dari tiga lempeng. Di musim ini FIA hanya membolehkan dua lempeng sayap depan dan satu lempeng di sayap belakang.

Bagi mobil F1, kondisi ideal adalah jika mobil menerima high downforce dan high drag saat berbelok. Saat berbelok, high drag dapat membantu pengereman dan high downforce membantu menyediakan grip yang lebih tinggi bagi ban untuk “menggigit” aspal agar mobil dapat menikung dengan stabil. Di trek lurus, kebutuhan akan downforce dan drag berbeda samasekali. Drag jelas merugikan karena menghambat akselerasi mobil dan downforce tidak terlalu dibutuhkan. Jadi settingan sayap yang paling baik bagi mobil balap adalah jika sudut serang sayap dapat diubah-ubah sesuai kebutuhan, sudut landai saat di trek lurus dan sudut curam saat berbelok. Namun sayangnya, perubahan sudut sayap saat mobil sedang melaju tidak diperkenankan oleh regulasi. Sudut sayap harus fixed, tidak berubah pada saat mobil berlomba. Pernah ada akal-akalan bagi regulasi ini dengan cara memilih material sayap yang flexible. Sayap yang flexible dapat berubah-ubah sudutnya sesuai kebutuhan di atas. Namun sayangnya juga, flexibilitas material juga dibatasi oleh regulasi.

Teknologi f-duct McLaren ini cukup cerdik dalam membuat karakteristik sayap belakang sesuai kebutuhan. Aliran udara dari depan yang dialirkan melalui saluran khusus ke permukaan depan sayap belakang (lihat ilustrasi). Aliran udara ini membuat aliran angin yang dari arah depan sayap belakang tidak langsung menghantam sayap belakang sehingga efektifitas sayap belakang jadi menurun. Akibatnya, drag jadi mengecil dan downforce juga berkurang. Kondisi ini menguntungkan jika mobil berada di trek lurus sebab downforce tidak terlalu dibutuhkan sedangkan drag sudah jelas merugikan. Untuk membuat berfungsinya saluran ini hanya untuk di trek lurus saja, pengoperasian katup di saluran masuk f-duct dioperasikan secara manual oleh pembalap. Saat memasuk trek lurus pembalap membuka katup dan saat menjelang memasuki tikungan pembalap menutupnya lagi.

Di musim ini f-duct menjadi primadona dalam memancing pro-kontra. Red Bull dan Ferrari adalah dua tim awal yang memprotes penggunaan f-duct oleh McLaren namun belakangan justru Ferrari menjadi salah satu team pengguna f-duct. Tim-tim lain yang telah mengadopsi f-duct sejak GP China adalah Williams, Sauber, dan Mercedes.
Berbeda dengan beberapa team yang telah menggunakan f-duct, tampaknya saat ini f-duct McLaren yang terlihat paling baik performanya. Kondisi ini tidak mengherankan karena desain satu komponen aerodinamika selalu tidak mudah karena melibatkan karakter aliran fluida yang kompleks yang bernama angin. Aliran angin dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu desain komponen lain yang sebelumnya dilaluinya, temperatur dan tekanan udara dan bahkan kelembapan udara. McLaren menjadi team dengan desain f-duct yang paling baik karena mereka tentu telah menyiapkan desain f-duct-nya sejak lama dan telah memanfaatkan windtunnel mereka untuk mencoba beberapa kemungkinan desain.

Saat ini f-duct ini akan banyak menjadi kunci kekuatan team karena manfaatnya berupa penambahan kecepatan di trek lurus amat diperlukan pembalap untuk menyusul maupun bertahan dari tekanan pembalap belakang. Kekuatan ini menjadi penting di sirkuit-sirkuit dengan trek lurus panjang. Uniknya, f-duct juga menjadi kunci kekuatan di sirkuit lambat seperti Monaco dan Hungaroring karena dengan mempunya f-duct mengurangi drag, maka sudut serang sayap dapat ditingkatkan untuk mendapatkan downforce lebih besar agar pembalap mampu menikung dengan lebih cepat. Jika teori ini terbukti, maka dapat diharapkan bahwa pertarungan-pertarungan di GP-GP mendatang akan lebih seru karena akan banyak overtaking yang dimungkinkan antara pembalap dengan f-duct versus pembalap tanpa f-duct.(roy)
credits to Craig Scarborough (scarbsf1.wordpress.com) for the above ilustrations

Flexible Front-Wing


Fleksibilitas komponen lagi-lagi jadi masalah. Mengapa fleksibibilitas itu penting? Mengapa FIA berusaha membatasinya dan tetapi tidak melarangnya?

Dalam banyak hal, fleksibilitas komponen aero pada mobil akan menguntungkan karena defleksi yang dihasilkannya memberikan service yang sesuai dengan kebutuhan mobil. Pada saat mobil melaju di trek lurus, downforce tidak terlalu dibutuhkan, karena itu sudut serang sayap yang ideal adalah sudut yang selandai mungkin untuk meminimalkan drag. Sebaliknya, saat mobil menjelang atau sedang menikung, downforce amat perlu untuk menambah grip agar pengereman lebih pakem dan menjaga mobil tetap stabil. Pada saat menikung itu pula drag yang biasanya merugikan jadi menguntungkan karena membantu kerja rem dalam melambatkan mobil. Sayap yang fleksible, akan mengalami perubahan sudut serang secara alami karena besarnya beban hantaman angin. Pada saat mobil melaju kencang di trek lurus, sayap yang fleksibel akan melandai karena hantaman angin dan saat mobil melambat menjelang tikungan, hantaman angin melemah dan sayap kembali ke posisi yang lebih tegak.

Pada kasus sayap depan, ada keuntungan tambahan daripada keuntungan yang telah dijelaskan di atas. Fleksibiltas pada sayap depan memberikan bantuan pada kerja endplates. Endplates adalah bilah vertikal di sisi kiri dan kanan sayap yang bertugas memberikan efek “sealing” atau penyekatan agar tekanan tinggi aliran angin di permukaan atas sayap tidak mengalir ke bawah sayap yang mempunyai tekanan statis lebih rendah. Tanpa endplates, secara natural aliran angin di atas akan berusaha mengalir ke bawah sayap melalui sisi kiri-kanan, lihat gambar ilustrasi (garis-garis merah menggambarkan aliran yang tidak diinginkan ini akibat endplates yang terlalu tinggi dan tidak dapat memberikan efek sealing yang baik). Jika ini terjadi, maka groundeffect berkurang dan downforce juga menurun. Menurut ilmu aerodinamika endplate yang baik dapat memberikan downforce yang besarnya sampai 1.9 kali daripada downforce yang diberikan sayap serupa tanpa endplates. Karena itu, fungsi endplates ini amat vital dan menjadi perhatian khusus bagi para engineer F1.

Lebih dari itu, bagi mobil F1 sayap depan amat krusial fungsinya karena sayap depan adalah komponen yang pertama kali “menabrak” angin dan kemudian memberikan pengaruh pada bentuk aliran angin ke belakang. Jadi tugas sayap depan bukan hanya untuk membangkitkan downforce saja tetapi juga harus membuat bentuk aliran angin yang baik yang dapat memberikan efek dan efisiensi aerodinamika yang baik pula bagi komponen-komponen aerodinamika di belakangnya.

Dengan banyaknya keuntungan fleksibilitas komponen aerodinamika ini, FIA melihat bahwa “area” ini adalah lahan yang cukup baik untuk dibatasi dalam mendukung langkahnya untuk mencegah mobil F1 makin bertambah cepat. Pembatasan kecepatan mobil ini sudah menjadi “tujuan tradisional” FIA karena makin cepat mobil memberikan dampak negatif bagi safety dan juga kompetisi. Dari sisi safety tentu sangat jelas, makin kencang mobil makin rawan akan kecelakaan fatal. Dari sisi kompetisi, makin kencang mobil, overtaking makin sulit dan keseruan balapan akan menurun. Jika balapan menjadi kurang seru, penonton akan beranjak pergi, dan begitu pulalah sponsor.

Tetapi mengapa FIA hanya membatasi, tidak langsung melarang fleksibillitas? Jawabnya karena tidak satupun orang di dunia mampu malarang fleksibilitas. Seluruh benda di bumi pada dasarnya fleksibel dengan derajat kekakuan (fleksibilitas) masing-masing. Di dunia engineering bahkan ada idioms bahwa “everything in the universe is spring”.

Dalam hal sayap depan, FIA menetapkan bahwa fleksibilitas maksimum yang diijinkan pada sayap depan adalah bagian pinggir sayap (yang berjarak 795 mm dari garis tengah mobil) boleh terdefleksi maksimum sebesar 10 mm jika diberi beban 500 N (atau sekitar 51 kgs). Defleksi yang diizinkan ini relatif kecil karena bagian paling bawah dari endplate sayap depan mempunyai jarak 75 mm dari reference plane (bagian dasar mobil, lihat ilustrasi) atau berjarak tidak kurang dari 125 mm dari aspal (karena reference plane sendiri minimum harus berjarak 50 mm dari jalanan), lihat gambar ilustrasi. Artinya, setelah terdefleksi pun, bagian paling bawah dari endplates harus berjarak tidak kurang dari 115 mm dari aspal.

Jika dilihat dari foto-foto sayap depan Red Bull di musim ini, endplates mereka jelas terdefleksi lebih dari yang diizinkan karena endplates mereka bahkan terlihat hampir menyentuh aspal. Lalu mengapa Red Bull tidak dianggap menyalahi aturan?

Satu-satunya alasan mengapa Red Bull (dan mungkin mobil-mobil tim lain yang mempunyai flexi front-wing) tidak dianggap melanggar aturan adalah karena regulasi FIA mengatakan bahwa pengukuran dilakukan pada keadaan statis. Pengukuran pada kondisi mobil melaju, selain tidak diatur, juga sulit dilakukan. Karena itu, tidak mungkin membuktikan bahwa sayap depan Red Bull (dan mungkin juga mobil team lain) melanggar aturan fleksibilitas. Jadi, persoalan flexi front-wing ini adalah persoalan adu kreatifitas mengenai bagaimana membuat komponen sayap tidak terdeflesi berlebihan pada beban statis, tetapi menjadi terdefleksi cukup banyak pada pembebanan dinamis.

Akal-akalan ini sebetulnya sudah pernah dibuat pada musim 2006 di mana McLaren (yang kemudian diikuti oleh hampir semua mobil lainnya) membuat sayap depan terpuntir. Putiran sayap dihasilkan oleh elemen tambahan di atas bilah sayap depan yang relatif kaku pada pembebanan statis tetapi menjadi terpuntir akibat “tabrakan angin” pada kondisi mobil melaju. Puntiran elemen di atas bilah sayap ini menekan endplates ke bawah dan memberikan efek “sealing” yang lebih baik (elemen-puntir ini pernah dibahas di Kolom Pitsop ini pada edisi Juni 2006). Mulai Musim 2009 lalu elemen puntir ini menghilang dari peredaran karena dilarang oleh FIA melalui batasan-dimensional pada bodyworks di sekitar sayap depan.

Di sisi lain, aturan pengujian fleksibilitas FIA terhadap sayap depan ini juga terlihat terlalu lunak karena pada saat melaju lebih dari 200 kph, beban yang diterima oleh sayap depan bisa lebih dari 400 kgs, atau kira-kira sama dengan 200 kgs di setiap sisi kanan dan kiri. Di musim depan bisa saja FIA memberikan batasan lebih ketat pada pengujian fleksibilitas ini dengan menetapkan beban pengujian yang lebih besar. Namun pertanyaannya adalah, apakah itu perlu? Sebab tanpa aturan yang terlalu ketat, maka adu kecerdikan mendesain komponen yang fleksibel secara dinamik namun kaku pada beban statis adalah satu kompetisi tersendiri yang membuat tontonan juga makin menarik.(roy)

Season Review - 2009: Mercedes Ruled!

Dari 17 Races di Musim 2009, hanya tiga engines yang berhasil memenangi balapan, yaitu Ferrari satu kali, Renault enam kali dan Mercedes 10 kali. Uniknya Mercedes menjuarai GP tahun ini melalui dua tim yang berbeda yaitu McLaren dan BrawnGP.

Mercedes juga mempunyai tim ketiga yang juga berprestasi tak jelek walau termasuk tim kecil dan baru, Force India. Prestasi Force India bahkan dapat dikatakan luar biasa jika dilihat dari sisi budget yang amat rendah. Di GP Belgia, Giancarlo Fisichella hampir membawa Force-India-nya nyaris menjuarai lomba dengan hanya berselisih kurang dari 1 detik dari Juara GP Belgia, Kimi Raikkonen. Saat itu untuk pertama kalinya Force India mendapat point dan pointnya juga tidak main-main, delapan points untuk runner up! Kejutan Force India belum berhenti di situ. Pada GP Italy, saat Giancarlo Fisichella sudah membela Ferrari, giliran Adrian Sutil membuat kejuatan. Adrian Sutil dengan Force Indianya menjadi pemegang catatan fastest lap di GP itu dan finish di urutan ke-4 dan membawa pulang lima points. Harus diakui, performa Force India banyak terbantu oleh kehebatan engine Mercedes. Mengapa Mercedes begitu perkasa di musim ini?

Sebenarnya, seluruh engine yang digunakan pada balapan selama Musim 2009 lalu adalah engine yang spesifikasinya sama dengan engine yang dipakai di GP Jepang di Musim 2006. Ini karena regulasi “Engine Freeze” yang mulai diberlakukan di akhir Musim 2006 lalu berlaku sampai lima tahun ke depan. Selama masa Engine Freeze, tidak ada modifikasi dan pengembangan engine yang diizinkan FIA selain pengembangan dalam hal reliability atau ketahanan. Modifikasi terhadap ketahanan mau tidak mau harus diizinkan FIA karena regulasi-regulasi FIA yang bermuara pada penghematan budget banyak didapat dengan cara mensyaratkan peningkatan ketahanan.

Perbaikan performa engine McLaren mengundang kecurigaan engine manufacturer lain. Pabrikan engine lain mencurigai Mercedes mengambil manfaat dari celah aturan engine-freeze yang tersedia yaitu berupa perbaikan performa yang “dititipkan” pada perbaikan reliability. Dengan kata lain, pabrikan engine lain, menuduh Mercedes mempunyai manfaat berupa perbaikan performa dari modifikasi yang diakuinya sebagai perbaikan reliability.

Dalam kondisi normal, peningkatan performa yang berbarengan dengan peningkatan reliability sulit didapat karena secara natural, performa “bermusuhan” dengan reliabilitas. Contohnya misalnya, perbaikan reliabilitas suatu komponen sangat mudah didapat dengan memperbesar dimensi critical components (komponen-komponen yang mudah jebol). Tetapi penambahan dimensi akan menambah bobot dan penambahan bobot biasanya dibarengi dengan menurunnya performa yang berupa penurunan putaran (jika critical componentnya adalah rotating part). Tetapi perbaikan reliability tetap bisa dibarengi dengan perbaikan performa walau perlu effort khusus, misalnya dengan mengganti material komponen tadi dengan material baru yang lebih ringan tetapi lebih kuat. Effort khusus yang dimaksud di sini adalah riset khusus untuk menemukan jenis material baru itu.

Tentu saja tuduhan dari pabrikan engine lain ini disanggah oleh pihak Mercedes. Norbert Haug, Direktur Motosport Mercedes, mengatakan bahwa peningkatan performa engine Mercedes adalah kerjasama dari seluruh team untuk “mengumpulkan” peningkatan-peningkatan minor di luar pengembangan engine itu sendiri. Peningkatan-peningkatan minor itu didapat dari perbaikan kualitas bahan bakar, perbaikan proses produksi komponen sehingga didapat perbaikan surface quality dari komponen, dan perbaikan efisiensi bahan bakar yang bisa didapat dari manajemen engine-mapping yang lebih baik.

Perbaikan performa auxiliary-devices (seperti pompa bahan bakar dan pompa oli, dan kompresor udara), walau tidak langsung mengkonsumsi power engine, dapat juga memperbaiki performa mobil karena laju pompa bahan bakar dan pompa oli yang lebih efisien, berarti membutuhkan baterai yang lebih kecil dan lebih ringan. Tidak seperti auxiliary devices pada mobil jalan raya pada umumnya yang tenaganya diambil dari tenaga engine, pompa bahan bakar dan pompa oli serta kompresor pada mobil F1 digerakkan oleh baterai.

Dengan prestasi Mercedes yang sangat baik ini, Musim 2009 ini dipenuhi dengan banyak kejutan. Selain kejutan soal Tim “gurem” Force India yang mengejutakan banyak orang di akhir musim, tim baru, BrawnGP, yang hampir saja tidak dapat mengkuti Musim 2009 karena ditinggal oleh engine supplier sekaligus pemilik tim, Honda, juga menikmati kejutan menyenangkan. BrawnGP akhirnya diselamatkan oleh Mercedes yang menyanggupi mensuplai engine bagi tim milik Ross Brawn ini. Alih-alih hanya sekedar berpartisipasi pada Musim 2009 (mengingat Honda hanya ada di peringkat kesembilan atau nomer tiga dari bawah pada Musim 2008), Tim Brawn GP malah menjadi juara konstruktor dan membuat pembalap utamanya, Jenson Button, menjadi Juara Dunia.

Mercedes tidak hanya menyediakan kejutan di Musim 2009 lalu, tetapi di akhir musim ini pun mereka menyuguhkan kejutan lain. Saat tim-tim pabrikan berlomba-lomba meninggalkan F1, dimulai oleh Honda, lalu BMW dan kemudian Toyota, Mercedes justru menancapkan kukunya lebih dalam di F1 dengan membeli sebagian kepemilikan BrawnGP, walau mereka juga menjual sahamnya di McLaren. Keputusan ini cukup mengagetkan sebab walau BrawnGP adalah juara konstruktor di Musim 2009 bagaimanapun juga mereka tim baru dan relatif kecil disbanding McLaren yang sudah amat mapan dengan fasilitas dan dana yang cukup besar. Tetapi dari sudut pandang lain, keputusan ini bisa saja tepat, jika mempertimbangkan bahwa di masa depan F1 akan menjadi olahraga yang lebih hemat dan “manusiawi” dengan berbagai macam regulasi yang berujung pada penghematan budget. Dengan kata lain, saat ini tim besar dan kaya akan sedikit kehilangan keunggulannya dan tim-tim kecil bisa mengejar ketinggalalannya. Apapun bisa terjadi di F1, kita tunggu saja kejutan selanjutnya.(roy)

The Cost Of Technology

Kenapa F1 itu mahal, semua orang tahu jawabannya, karena teknologi itu mahal. Dan karena F1 adalah puncak dari pengembangan teknologi otomotif, kemahalan adalah suatu yang wajar di cabang olahraga ini.

Tetapi mahalnya F1 juga juga menjadi kendala bagi perkembangan olahraga ini. Tidak seperti cabang lain, jarang sekali ada team baru yang tertarik untuk mencoba kerasnya kompetisi F1. Di akhir Tahun 1980-an, jumlah team yang berkompetisi di satu musim bisa mencapai 20 team. Saat ini, saat tempat yang tersedia di seluruh sirkuit F1 adalah maksimum hanya 13 tim (26 pembalap), jumlah tim justru hanya berkisar 10-11 team saja. Munculnya team baru, biasanya adalah karena penjelmaan team lama yang berganti pemilik. Hal itu tidak mengherankan karena mustahil bagi team baru untuk langsung dapat sampai ke level kompetisi F1 tanpa didukung fasilitas riset dan pengembangan serta pengujian yang canggih, dan tenaga ahli dengan kualifikasi tinggi. Dan untuk memiliki semua itu, perlu modal yang sangat besar dan belum tentu dapat kembali walau telah berkompetisi bertahun-tahun.

Masalahnya adalah, sejak awal tahun 2000-an, saat beberapa pabrikan engine membeli sebagian saham team-team F1, unsur bisnis di F1 makin menguat dan bahkan bisa dikatakan sama kuat dengan unsur sportnya. FIA pun harus cepat beradaptasi. Sebelum tahun 2000-an FIA masih menjadi regulator balapan, aturan-aturannya pun masih berkutat pada aturan main balapan dengan agenda utama menghambat mobil F1 untuk bertambah cepat karena alasan safety dan kompetisi. Tetapi sejak awal Tahun 2000-an, mau tidak mau FIA pun sedikit banyak menjadi regulator bisnis karena F1 sudah bergseser menjadi ajang bisnis selain ajang kompetisi balapan. FIA mulai membuat aturan untuk membatasi budget walau tidak secara langsung. Beberapa pembatasan teknologi yang tercantum dalam aturan-aturan baru di setiap musim kompetisi sejak awal tahun 2000-an adalah sebetulnya bertujuan untuk membatasi budget operasional seluruh team F1. Budget operasional harus dibatasi karena dua hal. Untuk menjaga level kompetisi karena perbedaan budget yang mencolok antara team “kaya” dan team “miskin” membuat kompetisi menjadi tidak berimbang dan mengurangi keseruan balapan. Selain itu, tanpa pembatasan budget kelangsungan olahraga ini juga dapat terancam karena saat biaya operasi menjadi semakin mahal, keuntungan finansial menjadi makin sulit dicapai. Padahal, dalam bisnis keuntungan finansial tentu mejadi pertimbangan utama.

Pembatasan budget di awal Tahun 2000-an dilakukan FIA tidak secara langsung, melainkan dengan membatasi teknologi. Beberapa hal telah dilakukan FIA yaitu dengan memberi aturan ketat secara teknis kepada spesifikasi mobil. Contohnya adalah pembatasan pemakaian engine di Musim 2004. Dengan aturan bahwa engine harus dipakai untuk seluruh rangkain event, mulai free-practice di hari Jumat sampai dengan lomba di hari Minggu, diharapkan ada penghematan belanja engine bagi setiap team dibanding sebelum ada aturan di mana setiap team boleh mengganti engine kapan pun mereka mau. Aturan ini diperketat di Musim berikutnya menjadi satu engine untuk dua balapan yang berurutan, dan bahkan diperketat lagi di Musim 2009 menjadi delapan engine untuk 17 balapan. Beberapa aturan lain diterapkan dengan tujuan yang serupa, menghemat biaya operasional seperti pembatasan spesifikasi engine dengan sangat ketat dengan harapan dapat menghemat biaya riset dan pengembangan.

Beberapa usaha FIA di atas gagal total karena samasekali tidak mengurangi biaya operasional team F1. Yang terjadi adalah biaya operasi justru meningkat karena setiap team selalu mengantisipasi setiap aturan baru dengan riset dan pengembangan agar tetap kompetitif dalam persaingan. Aturan engine untuk dua balapan berurutan misalnya, walau team menghemat biaya pembelian engine, tetapi harga enginenya justru meningkat signifikan karena di dalamnya ada biaya riset, pengembangan, dan pengujian agar engine baru meningkat reliabilitas nya alias lebih awet dipakai tanpa mengurangi performanya.

Kondisi serupa pun terjadi pada aturan pengetatan spesifikasi engine (dengan aturan mengenai berat minumum, lokasi titik berat terendah, batasan material, dimensi dan jarak silinder) pada Musim 2006. Di Musim itu juga, dimensi engine dikecilkan menjadi 2400 cc V8 dari sebelumnya 3000 cc V10. Aturan-aturan baru ini memang nampak akan memangkas biaya operasi karena engine lebih kecil dan peluang pengembangan jadi terbatasi, namun pada kenyataannya tiap team justru menambah budget untuk R&D nya untuk tetap dapat eksis dalam persaingan.

Aturan yang sedikit sukses mengerem peningkatan budget tahunan team adalah aturan engine homologation yang melarang pengembangan engine sejak akhir Musim 2006 sampai akhir musim 2010. Dengan pelarangan ini, praktis biaya R&D di sisi engine menjadi hilang karena engine samasekali tidak boleh dikembangkan. Namun demikian, budget operasional tiap team tidak benar-benar terhambat karena masih banyak area lain yang menjadi target DIvisi R&D untuk mengembangkan kecepatan mobil.

Di sisi lain FIA dikejutkan dengan kenyataan bahwa kelangsungan kompetisi F1 memang benar-benar terancam dengan keluarnya Honda dari kompetisi Musim 2009 akibat krisis keuangan global di akhir Tahun 2008. Team Honda menyusul Team Super Aguri yang sebelumnya telah rontok di pertengahan Musim 2008 akibat kehabisan “darah”. Artinya, jika pengeluaran team tidak dihemat, setiap team akan sangat rawan terhadap bahaya kebangkrutan dan mereka bisa memutuskan untuk keluar dari F1 kapan pun juga, ini alarm bahaya bagi F1 sebagai regulator lomba.

Karena penghematan budget tidak bisa dikendalikan dari pembatasan teknologi, FIA berpikir untuk langsung membatasi budget langsung melalui inti permasalahannya yaitu budget itu sendiri. Lalu lahirlah ide Max Mosley untuk membatasi budget team pada angka Eur 30 juta, yang lalu direvisi menjadi Eur 40 juta, lalu diusulkan Bernie untuk diubah menjadi Eur 100 juta, walau akhirnya gagal disepakati, F1 kembali ke format tanpa batasan budget, setidaknya sampa 2012.

Itulah F1. Saat ini F1 bukan hanya balapan F1, F1 juga ajang pertarungan bisnis, pertarungan pengembangan teknologi dan duit adalah “darah” bagi semua kompetisi itu. Membatasi budget dalam F1 memang akan melindungi team-team lemah dalam pertarungan bisnis, tetapi di sisi lain balapan menjadi kurang greget dan perkembangan teknologi pun tersendat.(roy)


Antara Regulasi, Sponsor dan Penonton

Formula 1 diambang kehancuran, benarkah? Setidaknya itulah pendapat FIA.

Menurut FIA, saat ini budget tahunan hampir seluruh team jauh melewati penerimaan mereka, baik dari hadiah dari points yang didapat maupun dana sponsor yang diperoleh. Akibatnya, tim pabrikan hidup dari subsidi dari perusahaan induknya sedangkan tim independen harus menggantungkan nasibnya kepada orang-orang kaya yang bersedia menjadi donatur. Musim ini telah memakan korban. Tim Super Aguri, team independent yang paling muda usianya, telah ”kehabisan darah” dan mundur dari arena sebelum musim 2008 ini usai.

FIA sadar bahwa kondisi ini berpotensi membuat masalah yang lebih besar. Donatur bagi tim-tim independen maupun perusahaan induk bagi tim-tim pabrikan belum tentu mau terus menerus menyuplai dana. Artinya, harus ada regulasi yang radikal yang benar-benar membatasi budget tiap tim agar kelangsungan hidup olah raga ini tetap terjaga sekaligus level kompetisi tetap tinggi dan mendatangkan daya tarik bagi penonton dan sponspor.

FIA lewat Max Mosley telah memikirkan beberapa langkah yang dapat dijadikan regulasi dalam rangka menekan budget tiap team peserta lomba. Beberapa diataranya adalah.

Regulasi tentang Engine
Penghematan bisa didapat secara efektif jika dilakukan di sisi engine mengingat dana riset untuk engine yang sangat mahal. Saat ini engine telah dohomologasi alias tidak diperbolehkan untuk dikembangkan sampai akhir Musim 2010. Penghematan sudah terjadi namun riset terhadap engine tetap boleh dilakukan terutama dalam hal reliability atau ketahanan.

Penghematan lebih jauh di sisi engine bisa didapat apabila engine diseragamkan. Artinya, FIA bisa menyeragamkan seluruh engine yang dipakai oleh seluruh team di F1, baik itu didapat dengan menunjuk satu engine supplier di luar tim-tim F1, atapun menunjuk konsorsium dari beberapa tim di F1 untuk memproduksi engine untuk dipakai bersama.

FIA berharap agar ide penyeragaman engine ini dapat segera disetujui oleh Formula One Team Association (FOTA) dalam waktu dekat sehingga bisa langsung diaplikasikan pada Musim 2009 mendatang. Ketergesaan ini didasari oleh kecurigaan FIA atas adanya kecurangan beberapa tim saat regulasi engine-homologation mulai disepakati pada akhir musim lalu. Saat kesepakatan engine-homologation itu, FIA memberi kesempatan beberapa minggu kepada seluruh team untuk melakukan reliability improvement (peningkatan ketahanan) pada engine. Batasannya jelas, bahwa yang ditingkatkan adalah reliability, bukan performa. Namun beberapa tim dicurigai meningkatkan engine reliability yang sekaligus mempunyai efek peningkatan performa. Kecurigaan ini ada, namun sulit dibuktikan. Karena itu, penyeraagaman engine, jika jadi diberlakukan, akan menghapus keuntungan dari kecurangan di atas.

Walau baru dalam tahap wacana, rencana penyeramanan engine ini tentu banyak ditentang, terutama dari pihak tim pabrikan yang selama ini menikmati keunggulan engine sebagai akibat keunggulan finansial mereka.
Penghematan dalam hal konsumsi bahan bakar bisa juga didapat dengan mengatur agar engine lebih efisien. Misalnya dengan keharusan pemakaian Kinetic Energy Recovery System (KERS). Dengan KERS, energy kinetik yang “terbuang” menjadi panas pada disbrake saat pengereman “ditangkap” dan disimpan oleh satu flywheel yang kemudian akan dapat dimanfaatkan lagi saat akselerasi. KERS ini sudah akan diberlakukan sejak Musim 2009 mendatang.

Regulasi Terhadap Sasis
FIA juga akan mengusulkan standarisasi dari beberapa komponen struktur yang diperkirakan memakan biaya besar saat dalam tahap riset dan pengembangan tetapi “penampilannya” tidak banyak menyita perhatian penonton. Ada beberapa komponen yang diusulkan untuk distandarisasi yaitu suspensi, velg, underbody, diffuser, dan beberapa komponen lain. Namun ini semua akan didiskusikan lebih jauh dengan pihak FOTA.

Regulasi Hal-Hal Lain saat Lomba
Bagaimanapun juga, penghematan tidak berarti banyak apabila dengan penghematan itu daya tarik F1 justru menurun sehingga dana sponsor pun ikut-ikutan menurun. Jadi penghematan harus dibarengi dengan usaha-usaha untuk membuat F1 lebih seru, kompetitif dan menarik.

Dalam banyak hal kompetisi sangat dekat dengan data statistik. Menonton lomba akan lebih nikmat apabila penonton dapat membandingkan data-data fastest-laps, speed at specific corner, top speeds antar masing-masing pembalap. FIA menyadari benar hal ini sehingga data-data statistik seperti itu akan lebih banyak kita jumpai di layar TV pada musim-musim terakhir dibanding tayangan F1 sebelumnya. Tidak hanya itu, tayangan lomba saat ini juga sering menghadirkan data-data on board secara real time seperti putaran mesin (rpm), bukaan katup gas, prosentase pengereman, dan bahkan pembicaraan dua arah via radio antara pembalap dan pitcrew-nya.

Di satu saat nanti, jika teknologi televisi memungkinkan, penonton akan dapat memilih gambar yang mana yang ingin dia saksikan. Apakah gambar di circuit-corner tertentu, ataukah gambar on-board camera di mobil Lewis, Massa, atau mungkin justru gambar di pit-garage tim tertentu.

Menarik perhatian penonton juga adalah tentang bagaimana menjaga emosi antara pembalap dengan fans fanatiknya. FIA menginginkan fans lebih dekat dengan pembalap idolanya. Karena itu FIA berencana menyediakan sesi khusus jumpa fans di Hari Sabtu.
Jadi apakah F1 memang di ambang kehancuran? Entahlah. Tetapi satu hal yang pasti F1 memerlukan dana dan dana terbesar adalah dari sponsor dan sponsor membutuhkan penonton. Jadi siapapun yang menjadi bintang di atas trek, sesungguhnya penonton dan fans setia F1 lah raja sesungguhnya.(roy)

Kejayaan Teknologi Ferrari

Mengapa Ferrari ingin memenangi seri Balap F1? Enzo Ferrari, di awal keikutasertaanya di Seri Balapan F1, memberikan jawaban sederhana atas pertanyaan ini: ”To sell Cars”. Kini, Ferrari adalah satu-satunya team yang selalu ikut serta pada balap F1 di setiap musim tanpa absen satu musim pun!

Jika orang mendengar kata “Ferrari” maka yang terbayang adalah, sport-cars, balapan, atau ngebut. Tidak salah, Ferrari memang identik dengan balap mobil. Walaupun tidak selalu berjaya di ajang F1, Ferrari menikmati beberapa masa keemasan di setiap dekade. Masa-masa paling buruk Ferrari adalah di awal tahun 90-an. Selama kurun waktu 5 tahun, sejak musim 1991 sampai akhir musim 1995, Ferrari hanya berhasil memenangi dua GP lewat Gerhard Berger di GP Germany 1994 dan Alesi di GP Canada 1995. Berarti Ferrari melewati tiga musim, 1991-1994 tanpa kemenangan satu kali pun.
Nasib Ferrari mulai kembali membaik saat Michael Schumacer masuk pada Musim 1996.

Masa-masa selanjutnya adalah masa-masa bersejarah saat Michael Schumacher identik dengan Ferrari dan identik dengan kemenangan.
Kejayaan Ferrari di akhir era 90-an dan di awal tahun 2000-an tidak dicapai dengan mudah. Kemenangan demi kemenangan diperoleh berkat kombinasi antara keunggulan tiga unsur, yaitu; kualitas orang-orang, organisasi, dan teknologi.

Dari ketiga unsur itu, unsur orang adalah yang terpenting. Sebab, keunggulan kedua unsur yang terakhir adalah berkat manajemen yang dibentuk oleh beberapa personel kunci Ferrari saat itu, Jean Todt, Ross Brawn, dan tentu saja, Michael Schumacher.
Saat Jean Todt pertama kali ditunjuk sebagai Team Principal Ferrari oleh Luca di Montezemolo di Tahun 1993, Ferrari berada pada grafik terendah sepanjang sejarah Ferrari. Todt menemukan bahwa Ferrari memiliki semuanya, engineers, fasilitas, dan teknologi. Namun seluruh fasilitas itu tidak digunakan secara efektif. Motivasi bekerja team juga tidak terbentuk karena leadership dan manajemen team yang buruk. Langkah pertama Todt adalah menunjuk orang-orang yang dirasa tepat di posisinya. Paolo Martinelli segera ditunjuk menangani divisi engine. Paolo segera bertindak, engine V12 yang powerfull tetapi terlalu berat dan sangat bergetar diganti menjadi V10 yang lebih kompak, namun tetap bertenaga. Saat Michael Schumacher berhasil dibujuk untuk pindah dari Benetton, maka Ross Brawn dan Rory Byrne dengan mudah bergabung dengan team. Ross Brawn sebagai Technical Director dan Rory Byrne segera melakukan revolusi pada manajemen dan organisasi team.

Teknologi F1 yang bergerak sangat dinamis mengharuskan setiap personnel yang terlibat di dalamnya untuk juga begerak cepat. Ross Brawn menceritakan bahwa, di Ferrari, penentuan konsep mobil di musim depan dilakukan dengan sangat dini, yaitu sejak saat mereka melihat mobil-mobil para pesaingnya di GP pertama musim yang sedang berjalan! Dengan demikian, di setiap musim berjalan, Ferrari melakuan pengembangan terhadap dua hal, pengembangan mobil di musim berjalan dan menentukan konsep mobil untuk tahun depan.

Bagi mobil F1 yang sangat ringan dan sensitif, konsep desain amatlah penting. Dalam tahap penentuan konsep, akan ditentukan dua hal, yaitu jarak wheelbase (jarak antara sumbu roda depan dengan sumbu roda belakang), besarnya tangki bahan bakar. Walaupun terlihat sederhana, tetapi dua hal ini amat mendasar dan menjadi referensi dari seluruh detail pengembangan mobil nantinya. Karena menjadi dasar dari seluruh pengembangan detail desain mobil, besarnya tangki bahan bakar dan jarak wheelbase akan membawakan karakter dasar mobil. Ferrari menyadari hal itu, sehingga tahapan penentuan desain menyita waktu cukup lama dengan berbagai pertimbangan dan evaluasi terhadap mobil yang sedang berlomba di musim berjalan maupun dari kelebihan dan kelemahan mobil-mobil team kompetitor.

Puncak kejayaan Ferrari adalah di Musim 2002 saat Ferrari mengoleksi 50% dari seluruh Point yang tersedia dalam musim itu. Prosentase ini mendekati prosentase maksimum yang dapat dicapai team dalam satu musim, yaitu 61.5%, yaitu apabila suatu team merebut posisi 1 dan 2 di setiap GP dalam satu musim. Di Musim 2004 dominasi Ferrari ini kembali terulang. Kali ini, koleksi point yang didulang justru lebih banyak dibanding point Ferrari di Musim 2002, walau secara prosentasi menurun mengingat system penilaian pada F1 yang berubah sejak Musim 2003.

Keunggulan Ferrari yang sangat penting dibanding seluruh team lain adalah komitmennya akan balapan. Dengan komitmen ini, seluruh fasilitas Ferrari, baik untuk road cars maupun yang untuk sport cars terintegrasi di suatu area dan mereka memiliki sirkuit sendiri, bahkan dua sirkuit, Fiorano dan Muhello, untuk mengetes performa mobil-mobil mereka. Sirkuit milik Ferrari ini adalah salah satu modal penting Ferrari untuk mengungguli kompetitornya di ajang F1. Ross Brawn bahkan mengatakan bahwa dia lebih memilih memiliki sirkuit sendiri andaikata dia harus memilih apakah memiliki fasiltas tes-rig dan wind tunnel yang canggih ketimbang memiliki sirkuit. Ross Brawn tidak salah, secanggih apapun fasilitas rig-test dan wind tunnel, tetap saja keduanya tidak dapat mengalahkan kondisi real yang disediakan sirkuit betulan dalam menyediakan data-data yang dibutuhkan para insinyur.

Kini saat walau trio Schumacher-Todt-Brawn, telah meninggalkan Ferrari, kejayaan Ferrari nampaknya akan susah untuk dipatahkan. Bukan hanya karena the winning team tersebut telah memberi peninggalan berupa team dan organisasi yang baik, tetapi juga karena kemenangan adalah tradisi bagi Ferrari. Saat ini, mungkin Ferrari tidak lagi butuh kemenangan di F1 untuk menjual mobil karena brand ”Ferrari” itu sendiri sudah merupakan barang dagangan yang mahal.(roy)

Mengatur Performa Mesin

Setelah peraturan engine freeze sampai akhir musim 2010, benarkah performa engine tidak bisa diubah-ubah lagi? Tidak juga. Performa engine tetap dapat diutak-atik dan memang harus demikian karena kebutuhan akan karakteristik power engine selalu berbeda antara sirkuit yang satu dengan sirkuit yang lainnya. Bagaimanakah caranya?

Ada tiga parameter yang menggambarkan performa engine, yaitu rpm, torsi, dan power. Rpm adalah putaran engine yang dinyatakan dalam banyaknya putaran per menit (revs-per-minute/rpm). Torsi alias momen-puntir adalah besaran yang menyatakan kemampuan berakselerasi dari engine (biasanya besarannya adalah kgf.m atau lbf.ft). Semakin besar torsi, maka mobil akan semakin mudah berakselerasi. Sedangkan power adalah besaran yang lebih general karena mencakup torsi dan rpm. Secara defintif, power menyatakan laju energi yang dihasilkan engine dalam menjalankan tugasnya memutar roda. Besaran power biasanya dinyatakan dalam bhp (brake horse power) dan didapat dengan cara mengalikan torsi dengan rpm.

Walaupun sejak regulasi engine-freeze peningkatan power, torsi, dan rpm hampir mustahil diupayakan, namun karakteristik engine tetap bisa di-set dan disesuaikan dengan karakter di tiap sirkuit. Kebutuhan karakteristik engine pada setiap sirkuit secara umum bisa dibedakan menjadi dua. Pada sirkuit-sirkuit cepat seperti Monza, Gilles Villenueve (Canada) dan China, engine akan banyak dioperasikan pada rpm yang mendekati rpm maksimum (yaitu antara 17500 sampai dengan 19000). Dan sebaliknya, pada sirkuit-sirkuit lambat seperti Monaco dan Hungaroring (Hungary) engine relatif sering beroperasi dari rpm yang lebih rendah karena pedal gas tidak akan terinjak penuh saat mobil sedang menaklukkan tikungan-tikungan lambat.

Saat engine lebih sering beroperasi pada rpm hampir maksimum, karakter ideal engine yang dibutuhkan adalah karakter yang memberikan torsi maksimum pada rpm tinggi. Dan sebaliknya, jika engine banyak beroperasi pada rpm yang lebih rendah, maka kurva torsi harus disesuaikan sedemikian rupa sehingga torsi maksimum ada di rpm yang lebih rendah, di mana engine sering dioperasikan.

Ada dua cara untuk mendapatkan karakakter engine yang berbeda yaitu dengan mengubah-ubah bentuk plennum dan/atau mengubah-ubah firing order (urutan pengapian). Plennum adalah saluran masuk udara yang dimulai dari titik di lubang di atas helm pembalap sampai dengan mulut intake-runner di setiap silinder (yang di engine F1 berjumlah delapan). Sedangkan firing-order atau urutan pengapian, adalah urutan penyalaan busi pada delapan silinder yang terdapat pada engine F1 itu. Cara mengubah karakter engine dengan memainkan firing-order adalah cara yang lebih populer daripada mengubah-ubah bentuk plennum karena firing-order lebih mudah dianalisis dan mempunyai nilai kepastian yang lebih tinggi daripada cara mengubah-ubah bentuk plennum. Perubahan karakteristik pada bentuk plennum yang berbeda dipengaruhi pula oleh parameter lain seperti temperatur dan tekanan udara sekitar.

Firing-order itu diperlukan pada setiap engine yang mempunyai silinder lebih dari satu. Jika kita punya sepeda motor dengan dua silinder, maka pengapian businya akan terjadi bergantian antara silinder yang satu dengan silinder yang lain setiap engine berputar setengah siklus pembakaran. Pada engine 4-langkah (4-tak) satu siklus pembakaran menempuh jarak 2 kali putaran engine atau 720o sehingga pengapian pada engine 2 silinder terjadi setiap 360o sekali. Pada engine F1 yang mempunyai 8 silinder pengapian terjadi setiap 90o sekali. Yang menjadi perhatian adalah bagaimana mengatur giliran pengapian. Di situ lah para engineer tiap tim menganalisis berbagai kemungkinan firing-order itu.
Pada engine mobil biasa yang biasanya hanya terdiri atas 4 silinder, firing-order yang paling umum adalah 1-3-4-2 karena urutan itu memberikan getaran yang paling rendah. Dalam menentukan firing-order di engine F1, selain getaran, pertimbangan penting juga diberikan pada karkateristik power yang didapat pada setiap kemungkinan firing-order.

Saat engine F1 masih punya 10 silinder, ada 24 kemungkinan firing-order yang biasanya dianalisis. Saat engine F1 sudah berjumlah delapan seperti saat ini, maka analisis terhadap firing-order biasanya hanya ada 18 kemungkinan. Namun demikian, penentuan firing-order hanya bisa dilakukan di markas tim sebelum engine dikemas dan diberangkatkan. Sebab firing order yang berbeda mensyaratkan pula bentuk cam-shaft yang berbeda.

Pada gambar ilustrasi dicontohkan dua kemungkinan firing order yang memberikan karakteristik power dan torsi yang berbeda. Dua grafik di bagian atas adalah grafik power (dengan satuan bhp) terhadap rpm dan dua grafik di bawah adalah grafik torsi (dengan satuan kgf.m) terhadap rpm. Grafik warna biru adalah grafik power dan torsi dengan kemungkinan firing-order pertama dan grafik warna kuning adalah kemungkinan firing-order kedua. Terlihat bahwa grafik pada firing-order pertama memberikan power dan torsi yang lebih tinggi pada rpm yang lebih rendah sedangkan kemungkinan kedua memberikan power dan torsi yang lebih tinggi pada rpm yang lebih tinggi.

Dengan karakteristik seperti itu, firing order yang pertama akan memberikan laptime yang lebih baik jika dipakai pada sirkuit-sirkuit yang relatif lambat, dan sebaliknya firing-order kedua akan cocok bagi sirkuit-sirkuit yang lebih cepat. Kemungkinan-kemungkinan pencapaian laptime ini bisa didapat hanya dengan simulasi komputer tanpa harus diuji di sirkuit sesungguhnya. Kebetulan kedua contoh firing-order pada ilustrasi memberikan laptime yang sama untuk sirkuit Barcelona Spanyol. Jika tim menemukan kondisi di mana ada dua firing-order yang memberikan laptime sama, biasanya pertimbangan didasarkan pada vibrasi dan/atau konsumsi bahan bakar. Kedua faktor itu sangat penting karena vibrasi berhubungan dengan reliability dan konsumsi bahan bakar berhubungan dengan strategi lomba.[roy]

Memahami Karakter Mobil

Saat tes terhadap mobil baru, 3 parameter yang selalu menyita perhatian si perancang mobil adalah power, grip, dan karakteristik mobil. Pemecahan masalah pada karakteristik mobil adalah yang paling rumit diantara ketiganya sebab karakteristik mobil ditentukan oleh unsur-unsur dinamika kendaraan yang berasal dari banyak faktor saat mobil masih ada dalam tahapan desain.

Dalam dinamika, karakteristik mobil dipengaruhi oleh 3 macam gaya yaitu gaya pada arah longitudinal akibat torsi dari mesin yang disalurkan oleh ban pada saat mobil melaju di jalur lurus, gaya lateral dari samping yang timbul akibat gaya sentrifugal saat mobil berubah arah, dan gaya vertikal dari atas/bawah yang ditimbulkan oleh gaya berat mobil itu sendiri, downforce akibat efek aerodinamika, atau oleh permukaan jalan yang tidak rata. Dari 3 jenis gaya itu, mobil akan mengalami gerakan lurus maju, ke samping, maupun naik turun, juga gerakan berputar pada 3 sumbu yaitu sumbu vertikal yang membuat hidung mobil bergerak ke kiri/kanan (yaw), sumbu horizontal-longitudinal yang membuat mobil berguling (roll), dan sumbu horizontal-lateral yang membuat mobil mendongak/menukik (pitch). Dari semua jenis gerakan di atas, hanya gerakan maju dan yawing (asal masih dalam batas yang dapat terkontrol) yang tidak bersifat negatif terhadap mobil. Yawing yang berlebihan atau understeer tidak diinginkan sebab akan membuat mobil tidak stabil.

Sensitifitas mobil terhadap semua jenis gerakan di atas dipengaruhi secara dominan oleh 3 hal, yaitu:
• Distribusi berat mobil
• Distribusi kekakuan terhadap rolling (roll stiffness distribution)
• Distribusi downforce dan grip ban

Distribusi berat mobil sering dikacaukan dengan pengertian terhadap posisi titik berat (center of gravity / COG). Padahal ada perbedaan diantara keduanya. Titik berat mobil memang ditentukan oleh distribusi berat mobil. Tetapi dua mobil yang mempunyai titik berat tepat di titik yang sama belum tentu punya distribusi berat yang sama dan mempunyai karakterisitik dinamika yang sama. Secara ekstrim perbedaan itu bisa dianalogikan dengan membandingkan bola besi 1 kg dengan dumbel 1 kg. Keduanya punya berat yang sama dan posisi titik beratnya pun sama-sama di tengah. Namun memutar dumbel akan terasa lebih berat daripada memutar bola. Ini karena distribusi berat dumbel ada pada ujung-ujungnya. Fenomena dumbel ini tidak diinginkan pada mobil F1 sebab mobil F1 harus lincah dan mudah berubah arah secara cepat. Karena itu, distribusi berat mobil F1 sebisa mungkin harus terkumpul di tengah. Rata-rata, mobil F1 dewasa ini mempunyai frekuensi natural yawing (yawing natural frequency) hampir sebesar 4 Hz atau berarti mampu melibas 4 chicanes dalam sedetik. Bandingkan dengan mobil F1 jaman Juan Manuel Fangio saat mesin mobil masih diletakkan di depan. Saat itu mobil F1 hanya mempunyai kemampuan yawing-rate tak lebih dari 1 Hz.

Distribusi kekakuan terhadap rolling (roll stiffness distribution) adalah perbandingan kekakuan antara sumbu roda depan dan sumbu roda belakang. Selanjutnya distribusi ini mempengaruhi distribusi beban lateral diantara keempat roda. Jika kekakuan rolling cenderung pada poros belakang, maka saat berbelok ada kemungkinan salah satu roda depan akan kekurangan grip dan understeer adalah akibatnya. Sebaliknya jika kekakuan rolling cenderung ke depan maka mobil cenderung oversteer. Kondisi ideal adalah jika kedua sumbu roda dibuat amat kaku. Namun demikian hal ini sangat dibatasi oleh kekakuan rangka mobil, komponen-komponen di bagian sambungan suspensi dan juga kekakuan vertikal ban (kekerasan ban).

Distribusi downforce dihasilkan dengan memvariasikan setingan sudut serang sayap depan dan belakang. Kekurangan downforce pada kedua roda depan akan mengakibatkan mobil rawan terhadap understeering. Sebaliknya, kekurangan downforce pada poros belakang akan membuat mobil mudah untuk oversteer. Selama kondisinya tidak parah, understeer lebih mudah untuk diatasi oleh pembalap. Namun demikian, pembalap dengan skill yang baik juga dapat mengatasi oversteer. Secara umum penyebab oversteer ada dua, akibat beban pengereman yang terlalu besar di belakang, ini dapat dikoreksi dengan sedikit menekan pedal gas dan mengoreksi sudut belokan dengan memutar setir, dan oversteer jenis kedua akibat kelebihan torsi pada roda belakang saat akselerasi. Untuk mengatasinya cukup mudah yaitu dengan sedikit mengangkat kaki dari pedal gas.

Secara teknis, mengurangi karakter negatif mobil di atas tidaklah mudah, selain karena batasan-batasan FIA dalam hal dimensi dan safety, beberapa usaha untuk mengurangi efek negatif suatu kondisi justru akan menambah efek negatif di sisi lain. Sebagai contoh, efek rolling bisa dikurangi jika titik berat mobil dibuat sedekat mungkin dengan garis gaya untuk membuat mobil berbelok. Ini artinya mobil akan semakin kaku terhadap efek rolling jika titik beratnya sedekat mungkin dengan poros depan. Tetapi, ini juga berarti yawing natural frequency akan berkurang sehingga mobil menjadi tidak lincah dan lambat merespon keinginan pembalap untuk berbelok. Selain itu grip ban belakang juga berkurang. Karena itu, para perancang mobil harus memilih desain yang optimum agar didapat performa mobil yang terbaik. Satu-satunya usaha yang tidak menimbulkan efek negatif di sisi lain adalah membuat mobil seringan mungkin. Dengan mobil yang ringan, maka ballast (beban tambahan untuk memenuhi persyaratan berat minimum mobil) bisa dibuat lebih berat sehingga pengaturan titik berat mobil bisa dibuat lebih fleksibel tergantung dengan jenis sirkuit yang akan dilalui. Di sirkuit yang punya banyak chicane, biasanya titik berat digeser agak ke belakang dan rolling-stiffness untuk poros depan ditambah.

Yang menarik adalah karakteristik mobil ini dapat berubah dengan cepat pada saat lomba. Beberapa sirkuit memberikan perlakuan yang berbeda pada ban depan dan belakang. Hockenheim baru adalah salah satu contoh sirkuit berjenis ini. Di sana, roda belakang (terutama yang kiri) akan lebih cepat botak dibanding ketiga ban lainnya. Michael Schumacher di tahun 2003 dan Kimi Raikonen di tahun 2002 adalah 2 pembalap yang telah merasakan “keanehan” ini. Keduanya mengalami pecah ban belakang kiri pada akhir-akhir balapan. “Termakannya” ban belakang kiri di Hockenheim disebabkan sirkuit itu banyak memiliki trek lurus panjang yang didahului oleh tikungan lambat ke kanan. Saat melalui tikungan itu, pembalap akan menggeber habis mobilnya untuk mendapatkan speed yang bagus saat melibas trek lurus. Akibatnya ban belakang kiri harus menjadi ban yang paling tersiksa karena harus menghantarkan torsi mesin lebih besar daripada ban kanan belakang.

Respon pembalap terhadap perubahan karakteristik mobilnya inilah yang membedakan pembalap dengan skill tinggi dengan pembalap yang biasa-biasa saja. Pembalap hebat akan dengan mudah mengenali degradasi kemampuan mobilnya dan tetap melajukan mobilnya pada batas kemampuannya tanpa melakukan kesalahan. Dari kemampuan pembalap ini jugalah yang menjawab pertanyaan mengapa satu pembalap sering sekali DNF sementara pembalap lainnya tidak mengalami hal serupa.

KERS is coming !

Di musim 2009 mendatang, FIA membolehkan KERS dipakai di mobil F1. Dengan KERS, balapan akan lebih menarik karena mobil jadi lebih hemat bahan bakar (environment friendly) dan memungkinkan ada power boost yang bisa dimanfaatkan pembalap. Apa sih KERS itu?

Prinsip dasar balap mobil sangat sederhana, yaitu adu cepat. Tetapi sesungguhnya filosofi dalam mendesain mobil dalam rangka memenangkan kompetisi adu kecepatan itu selalu berubah sesuai dengan perkembangan teknologi. Dimulai dari filosofi yang paling sederhana yaitu mendesain engine yang powerful, kemudian yang lebih advanced yaitu memaksimalkan performa ban, sampai mendesain komponen-komponen aerodinamika yang rumit.

Saat ini F1 sedang memasuki generasi yang lebih advance daripada ”generasi aerodinamika” yaitu generasi environment-concern. Perhatian dunia saat ini banyak ditujukan pada issue lingkungan yang mempunyai dua fokus utama yaitu ”clean emission” and ”low fuel consumption” (emisi gas buang yang bersih dan penghematan bahan bakar). Dua fokus ini sejalan dengan dua problem besar yang dihadapi masyarakat bumi saat ini yaitu meningkatnya temperatur bumi secara global (global warming) dan semakin langkanya bahan bakar minyak bumi.

Repotnya, issue lingkungan ini samasekali tidak populer dalam dunia balap karena secara prinsip kontra produktif dengan level competitiveness desain mobil balap. Engine yang didesain untuk menghasilkan low emission (kadar racun gas buang yang rendah) mempunyai ”ongkos” berupa penurunan power.

Berbeda dengan issue emisi gas buang, issue penghematan bahan bakar masih bisa ”mendapat tempat” dalam F1. Walaupun, secara prinsip penghematan bahan bakar juga berdampak langsung pada power engine, namun issue ini lebih mudah ”diakali”. Agar tidak berdampak langsung pada performa engine, penghematan bahan bakar yang dilakukan tidak ditujukan untuk mengurangi konsumsi bahan bakar pada engine, melainkan dengan cara meningkatkan efisiensi komponen-komponen lain yang ”mengkonsumsi” power.

Jika membicarakan efisiensi penggunaan power pada sebuah mobil, para engineer akan langsung berpikir pada satu komponen yang merupakan konsumen power yang paling besar, yaitu rem. Pada prinsipnya, pengemudi mobil yang sedang mengerem mobil pada hakekatnya adalah sedang ”membuang” power. Power yang terbuang adalah power yang seharusnya membuat mobil masih melaju dengan kecepatan tertentu, tetapi saat pengereman justru mobil justru melambat atau bahkan berhenti. Sebetulnya power itu tidak hilang (karena energi itu kekal, tidak bisa dihilangkan) tetapi power itu berubah menjadi energi panas pada disc-brake yang samasekali tidak berguna bagi mobil. Power yang ”terbuang” pada discbrake itu lumayan besar karena saat pengereman yang kuat (hardbraking) temperatur disc bisa mencapai 1000oC dan power yang terbuang menjadi panas bisa mencapai 2200 HP (bandingkan dengan power yang dihasilkan engine F1 V8 2400cc yang ”hanya” menghasilkan power sekitar 750HP ”saja”).

Jika saja power pada rem itu bisa ”ditangkap” sebagian dan kemudian dimanfaatkan untuk membantu engine saat mobil berakselerasi, tentu saja konsumsi bahan bakar akan sedikit lebih hemat. Dan apabila sumbangan power itu dikemas dalam satu paket ”power boost” yang bisa diaktifkan melalui satu tombol di gagang setir pembalap (seperti halnya yang terjadi di ajang balap A1), rasanya tontonan F1 akan jadi lebih menarik.
Di musim 2009 nanti, FIA berencara untuk mengeluarkan aturan baru yang mengatur hal-hal mengenai pemanfaatan kembali energi yang terbuang melalui pengereman ini. Metoda pemanfaatan energi yang terbuang di pengereman ini ada dua, yaitu yang pertama dengan cara elektro-mekanis (electro-mechanics) dan yang kedua dengan cara mekanis penuh (fully-mechanics).

Cara elektro-mekanis lebih dulu diusulkan yaitu sejak tahun 2005 lalu yaitu dengan cara menghubungkan satu generator pada poros keluaran dari engine. Generator ini terhubung dengan kapasitor listrik berkapasitas besar. Sistem ini sepenuhnya dikontrol oleh ECU engine. Saat pembalap menginjak pedal rem, ECU memerintahkan generator untuk mengangkap energi kinetik berupa putaran poros dan mengkonversikannya menjadi energi listrik yang disimpan pada kapasitor. Konversi energi kinetik menjadi listrik ini mempunyai efek pengereman yang berguna untuk membantu rem bekerja. Dengan demikian, tempratur discbrake tidak akan terlalu panas karena sebagian energi pengereman sudah tersimpan dalam kapasitor. Pada saat berakselerasi, giliran kapasitor yang diperintahkan ECU untuk meng-energize generator (yang dalam hal ini bertindak sebagai motor) untuk berputar. Putaran motor ini akan menambah power yang berasal dari engine.

Cara yang full mekanis sering dinamai orang sebagai Kinetic Energy Recovery System (KERS) atau sistem pembangkitan kembali energi kinetik. Prinsip kerjanya hampir sama dengan sistem elektro-mekanis yatu menangkap energi kinetik (berupa putaran poros) yang kemudian disimpan dan nantinya akan dikeluarkan kembali saat mobil berakselerasi. Bedanya, pada sistem ini penyimpanan energi kinetik tidak dalam bentuk energi listrik tetapi tetap berupa energi kinetik yang tersimpan pada putaran flywheel. Selain flywheel, KERS dilengkapi dengan sistem tranmisi plus kopling. Kopling bertugas sebagai penyambung/pemutus hubungan antara KERS dengan poros penggerak dari engine.

Flywheel adalah roda bermassa besar. Benda bermassa besar mempunyai momentum yang juga besar. Momentum besar ini mempunyai prinsip dasar yaitu, saat dalam keadaan diam susah untuk diputar tetapi saat sudah berputar susah untuk direm. Prinsip ini dimanfaatkan dalam KERS. Saat mobil melaju normal, sistem KERS tidak terhubung dengan poros engine. Tetapi begitu pembalap menginjak rem ECU memerintahkan kopling pada sistem KERS untuk menghubungkan KERS dengan poros engine. Akibatnya, massa poros engine akan mengalami perlambatan karena sebagian powernya dipergunakan untuk memutar flywheel yang berat. Efek perlambatan ini membantu pengereman. Saat pedal rem tidak lagi terinjak, KERS terpisah dari poros engine tetapi flywheel (karena massanya yang besar) terus berputar. Saat pembalap berakselerasi, ECU bisa memerintahkan kopling untuk kembali terhubung dengan poros engine dan kali ini putaran flywheel akan membantu engine untuk berakselerasi. Sistem transmisi di KERS akan mengatur putaran KERS agar sesuai dengan kebutuhan engine untuk melakukan perlambatan atau percepatan.

ECU bisa mengatur kapan percepatan itu harus dilakukan. Timing ini bisa dihubungkan dengan tombol power-boost di gagang setir pembalap apabila kelak power-boost diijinkan di F1.

Secara tradisional, balap mobil biasanya identik dengan pemborosan bahan bakar. Tetapi teknologi bisa mengubah semuanya. Sebagai pioneer pada bagi perkembangan teknologi di dunia otomotif, F1 bisa menyumbangkan sesuatu bagi kebutuhan dunia otomotif dunia, termasuk issue-issue sensitif di bidang lingkungan seperti ini.


Kenapa sih kok ban itu penting banget?

Pada balapan F1, ban selalu menjadi primadona dan menjadi pusat perhatian dari seluruh engineer. Semua rancangan komponen mobil pada dasarnya bertujuan untuk melayani satu komponen, yaitu BAN. Mengapa demikian?

Secara prinsip mobil terdiri dari tiga bagian utama. Yang pertama adalah mesin sebagai sumber tenaga, kemudian ada pembalap dan sistem kemudi yang bertugas memberi arah pada mobil, dan yang terakhir adalah ban sebagai satu-satunya komponen yang bertugas mengkonversi tenaga mesin dan arah tadi menjadi performa mobil yang sesungguhnya berupa kecepatan dan kemampuan bermanuver. Apabila kualitas ban kurang baik, maka power mesin serta skill pembalap menjadi sia-sia, karena tidak ”terdeliver” secara maksimum menjadi performa yang sesungguhnya. Karena itulah ban mendapat banyak bantuan dari komponen-komponen aerodinamika dan suspensi dalam menjalankan tugasnya.

Ban bekerja dengan memanfaatkan gaya gesek permukaannya dengan permukaan aspal. Dalam balapan gaya gesek ini dikenal dengan istilah ”grip”. Ada dua faktor yang mempengaruhi grip yaitu gaya vertikal dari ban terhadap aspal dan koefisien gesek antar permukaan yang saling bersinggungan. Gaya vertikal adalah hasil jumlah antara berat mobil plus pembalap yang diterima masing-masing ban ditambah dengan gaya ke bawah akibat aerodinamika yang dinamakan dengan downforce. Sedangkan koefisien gesek adalah fungsi dari sifat permukaan ban dan permukaan aspal.

Jadi grip dapat ditingkatkan dengan dua cara yaitu meningkatkan gaya vertikal dan meningkatkan koefisien gesek permukaan. Cara pertama hanya bisa dilakukan dengan meningkatkan downforce sebab menambah bobot mobil walaupun juga akan memperbaiki grip tetapi akan berakibat fatal karena akan meningkatkan beban lateral saat mobil menikung sehingga mobil gampang terlempar keluar lintasan.

Cara kedua adalah dengan memperbaiki koefisien gesek antara ban dan aspal. Karena permukaan aspal adalah besaran konstan yang tidak bisa diubah, satu-satunya cara memperbaiki koefisien gesek adalah dengan mempebaiki kualitas kompon ban. Koefisien gesek kompon ban ini fungsi dari temperatur. Kondisi terbaik biasanya dicapai kompon ban pada temperatur antara 85oC sampai 100oC. Karena itu, sebelum dipakai biasanya ban diselemuti dengan pemanas agar temperatur operasi dapat dicapai dengan cepat.

Kualitas kompon juga tergantung dari jenis karetnya. Semakin keras kompon biasanya kualitas gripnya menurun, tetapi ketahanan terhadap ausnya meningkat. Kondisi ideal tentu saja apabila para pabrikan ban bisa membuat kompon yang keras tetapi mempunyai grip yang baik. Langkah inilah yang menjadi tujuan utama Bridgestone dan Michellin di musim 2005 ini karena penggantian ban selama kualifikasi dan race tidak diperkenankan lagi.

Saat ini grip yang dipunyai ban-ban mobil F1 sudah luarbiasa hebat. Para pengamat F1 memperkirakan koefisien gesek yang dipunyai ban-ban F1 saat ini terhadap rata-rata permukaan aspal adalah lebih dari 2.2. Dengan koefisien gesek sebesar itu, mobil F1 seberat 550 kg yang diletakkan secara melintang-vertikal di dinding, tidak akan jatuh jika kita bisa memberikan tekanan pada mobil itu ke arah tembok hanya sebesar 250 kg saja. Dan dengan koefisien gesek sebesar itu pulalah bisa dimengerti mengapa mobil F1 mampu berbelok dengan kecepatan sampai 250km/j tanpa terlempar keluar lintasan. Sebagai perbandingan, koefisien gesek yang dimiliki permukaan carbon-carbon composite yang digunakan cakram rem dan kalipernya yang hanya sekitar 0.6. Padahal koefisien permukaan rem itupun sudah sangat hebat kemampuannya karena pada saat beroperasi temperaturnya bisa naik sampai sekitar 1000oC. Namun demikian, memang perbandingan antara koefisien gesek antara ban dengan rem tidak sepenuhnya fair, karena gaya gesek yang dialami rem berbeda dengan gaya gesek yang dialami ban. Pada rem gaya gesek yang terjadi adalah gaya gesek dinamis (karena ada gesekan yang sesungguhnya antara permukaan yang bersinggungan) sedangkan gaya gesek pada ban adalah gaya gesek statis karena permukaan yang bersinggungan tidak benar-benar terjadi gesekan kecuali pada saat slip dan skid.

Namun apakah benar bahwa pada kondisi normal (tanpa slip dan skid) permukaan ban dan aspal tidak saling bergesekan? Ternyata tidak juga. Sifat karet yang mudah untuk terdeformasi (berubah bentuk) menyebabkan ada perbedaan kecepatan antara kompon ban bagian luar pada contact-patch (kompon yang langsung bersinggungan dengan permukaan aspal) dengan permukaan kompon bagian dalam (lihat ilustrasi). Perbedaan ini menyebabkan sebagian contact-patch di bagian belakang menggesek dengan aspal karena saat permukaan ban meninggalkan permukaan aspal, perbedaan kecepatan antara permukaan dalam dan luar menjadi nol kembali dan perubahan ini tidak bisa terjadi secara tiba-tiba. Luas daerah yang bergesekan dengan aspal disebut dengan slip area sementara luasan lainnya yang tidak bergesekan disebut shear. Jika torsi makin besar (baik itu torsi untuk akselerasi maupun torsi untuk pengereman) maka luasan slip area akan semakin melebar dan, sebaliknya, shear-area makin sempit. Jika kondisi itu berlanjut, maka pada suatu saat contact-patch akan berubah menjadi slip-area seluruhnya. Saat itulah mobil akan slip atau skid. Perbandingan antara perbedaan kecepatan dua permukaan itu terhadap kecepatan di permukaan luar ban disebut sebagai slip-ratio. Biasanya mobil mulai slip jika slip ratio mencapai 3%. Tetapi ini tergantung dari jenis kompon yang digunakan. Kompon yang lunak bisa mengalami slip-ratio yang lebih besar tanpa terjadi slip dibanding kompon keras.

Fenomena di atas adalah terjadi pada gerakan mobil secara longitudinal atau maju ke depan. Gerakan mobil menikung ternyata justru menghasilkan slip area yang lebih besar lagi. Pada kasus ini, ukuran slip dinyatakan dengan slip-angle yaitu besarnya sudut antara arah mobil dengan arah ban. Slip akan benar-benar terjadi apabila slip angle mencapai besaran lebih dari 6o, tetapi ini sekali lagi tergantung dari jenis kompon yang digunakan. Kompon lunak mampu mengalami slip-angle yang lebih besar tanpa mengalami slip.

Kenyataan yang menarik adalah slip-ratio dan slip-angle ternyata merugikan karena menyerap power mesin yang tersalur ke roda secara signifikan. Dalam hal ini, slip-angle yang terjadi akibat mobil menikung lebih besar pengaruhnya dalam ”membuang” power mesin daripada slip-ratio yang terjadi akibat mobil berakslelerasi atau mengerem. Pada slip-angle 6o dengan kecepatan 240 km/j, power yang hilang bahkan bisa mencapai 215 HP atau hampir ¼ dari tenaga mesin maksimum yang dipunyai F1 engine. Karena itulah, kompon lunak walaupun mempunyai kelebihan di sisi grip, punya kelemahan cukup penting yaitu relatif memboroskan bahan bakar.

Dalam sejarah F1, hampir setiap tahun FIA membuat perubahan-perubahan regulasi untuk mengurangi laju mobil-mobil F1 demi alasan keselamatan. Satu-satunya area yang sulit dijangkau FIA adalah pengembangan ban ini karena titik beratnya ada pada riset material karet yang jadi rahasia setiap pabrikan ban.

Traction Control

Musim 2008 ini merupakan era F1 kembali tanpa Traction Control. Apa sih traction Control itu?

Traction Control (TC) berfungsi mencegah wheelspin pada roda belakang mobil, yaitu kondisi dimana roda belakang berputar lebih cepat dari semestinya. Wheelspin terjadi bila power yang diterima roda belakang melebihi kemampuan ban dalam memberikan grip. Grip dari ban merupakan fungsi dari sifat karet ban serta tekanan ke bawah yang diterima ban yang berasal dari downforce dan bobot mobil. Mobil F1 dengan bobot hanya sekitar 600kg dan power lebih dari 700 BHP tentu sangat rawan terhadap wheelspin. Bandingkan dengan mobil di jalan raya yang yang bobotnya sekitar 1.5 ton dan dengan power yang tak lebih dari 200 BHP.

Seperti layaknya fungsi kontrol lainnya, TC bekerja dalam tiga tahap, yaitu sensing (melakukan pengukuran), processing (melakukan proses perhitungan data dan analysis), serta actuating (melakukan aksi pengaturan). Sensing dilakukan oleh sensor-sensor yang mengukur putaran roda belakang, roda depan, dan laju mobil. Processing dilakukan oleh komputer mobil yang terintegrasi dalam sistem ECU (Electronic Control Unit) dan selanjutnya proses pengaturan dilakukan oleh beberapa actuator yang melakukan beberapa aksi untuk mengurangi power engine yang terhantar ke roda belakang.

Walaupun ada tiga tahapan, seluruh aktifitas system TC itu dilakukan dalam hitungan miliseconds dan kecepatan itulah merupakan keuntungan sebenarnya dari system TC karena sebenarnya semua pembalap F1 dapat melakukan fungsi TC itu sendiri. Pembalap mobil pada level F1 sudah pasti mempunyai kemampuan dalam merasakan wheelspin yang terjadi pada roda mobilnya. Bedanya, fungsi yang kontrol traksi yang dilakukan pembalap, tentu saja, kalah cepat dan kalah akurat dibanding TC yang dilakukan oleh sistem komputer mobil.

Walaupun mempunyai prinsip kerja yang mirip, TC yang dikembangkan masing-masing tim bisa berbeda dalam banyak hal. Pertama, perbedaan bisa terjadi pada tahapan sensing. Beberapa sistem TC melakukan perbandingan antara putaran roda depan dan roda belakang dalam hal menentukan apakah wheelspin telah terjadi. Beberapa system lainnya hanya mengukur apakah putaran roda belakang berakselerasi secara normal atau tidak (dengan cara mengukur percepatan putaran roda).

Dalam hal processing dan analisis data, setiap tim mengembangkan algoritma perhitungan data dan analisis masing-masing sehingga perbedaan juga dapat terjadi. Tahapan actuating merupakan tahapan yang paling banyak memiliki perbedaan diantara masing-masing tim. Ada beberapa system TC yang melakukan pengurangan power dengan cara menghentikan pengapian (ignition cutting) pada beberapa silinder secara sementara, dan ada beberapa system TC lainnya yang melakukan pengaturan laju bahan bakar pada beberapa silinder, pengaturan bukaan throttle (bukaan katup), atau melakukan kombinasi dari beberapa kemungkinan itu. Jika pembatasan power dilakukan dengan ignition cutting pada beberapa silinder, maka ledakan knalpot bisa terjadi karena ada bensin yang belum terbakar dan terbuang melewati knalpot yang tinggi temperaturnya.

Perbedaan bukan hanya terjadi pada bagaimana proses pengaturan traksi itu dilakukan, tetapi juga terjadi pada seberapa besar pengaturan itu dilakukan. Beberapa engineer pada tim F1 mengatakan bahwa wheelspin bukan merupakan hal yang benar-benar merugikan bagi mobil F1. Sedikit wheelspin di chicane dapat membantu pembalap menaklukan chicane itu secara lebih cepat. Sam Michael, Technical Director WilliamF1 mengatakan bahwa wheelspin dengan prosentase yang tepat dapat memangkas laptime. Untuk itu, team Williams melakukan simulasi mengenai setting pada TC sehingga didapat seting TC yang ideal bagi setiap sirkuit. Pada kenyataannya, sebenarnya pembalap pun bisa melakukan perubahan settingan TC setiap saat karena fasilitas itu terdapat pada gagang setir mereka. Biasanya pembalap melakukan perubahan setttingan TC ini seiring dengan berkurangnya bobot mobil akibat menipisnya bahan bakar.
Semua perbedaan system TC itu membuat performa TC yang dimiliki oleh team juga berbeda. Tim Renault di musim 2003 dan 2004 bisa dikatagorikan sebagai team yang mempunyai sistem TC yang paling baik. Kedua mobil mereka yang dikendarai Fernando Alonso dan Jarno Truli saat itu sangat perkasa dalam menaklukan tikungan dan saat start. Keunggulan saat start sebenarnya didapat dari keunggulan mereka dalam mengembangkan system Launch Control (LC). LC ini berbeda dengan TC dan telah dilarang sejak musim 2004 tetapi prinsipnya sebenarnya amat mirip dengan TC karena sama-sama mencegah (atau meminimalisasi) wheelspin.

Traction Control sebenarnya bukan teknologi baru dan sudah dipakai di mobil F1 pada dekade 80-an. Pada musim 1994 failitas TC sempat dilarang karena dianggap terlalu banyak memberikan bantuan pada pembalap saat mengengemudi. Namum di musim-musim setelah TC dilarang, banyak kecurigaan bahwa banyak team masih menggunakan TC secara ilegal. FIA mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi kecurangan ini karena pengujian peralatan elektronik pada mobil amat sulit dilakukan mengingat tiap tim mempunyai algoritma berbeda dengan bahasa software yang juga berbeda. Setelah makin banyaknya kecurigaan bahwa TC tetap dipakai oleh beberapa tim walaupun tidak dapat dibuktikan, akhirnya di GP Spanyol 2001, FIA membolehkan kembali pemakaian TC.

FIA kembali melarang Traction Control ini di musim 2008 ini. Kali ini FIA merasa tidak akan ada masalah dalam pengawasan larangan ini karena pelarangan TC ini akan disertai dengan regulasi penyeragaman ECU. Semua ECU pada mobil akan disuplai oleh satu supplier dan FIA mempunyai full akses dalam memonitor ECU yang dipakai oleh semua tim.

Beberapa pengamat mengatakan bahwa absen-nya TC di musim ini akan membuat mobil sedikit melambat. Namun hasil test justru membuktikan sebaliknya. Beberapa rekor laptime justru baru terpecahkan dengan mobil yang tanpa TC.

Lebih lambat atau tidak, rasanya F1 jadi lebih menarik tanpa TC.
Tidak sependapat?
Boleh saja, tetapi GP Aussie lalu rasanya cukup membuktikan hal itu. (roy)

Gimana Ya Cara Membandingkan Kehebatan Mobil Balap?
Mobil balap yang hebat harus punya engine yang powerfull, ban balap dengan grip yang baik, dan driveability yang juga baik sehingga mampu bermanuver dengan cepat. Beberapa faktor lain juga harus diperhatikan, yaitu distribusi berat yang tepat, distribusi downforce yang sesuai dengan grip yang tersedia antara roda depan dan belakang. Jika ingin membandingkan satu mobil balap dengan mobil yang lainnya, semua parameter di atas harus dinilai dan dibandingkan. Perbandingan ini tentu tidak mudah karena semua parameter itu mempunyai bobot yang berbeda. Namun ada satu ukuran yang dapat mewakili semua parameter di atas, yaitu diagram ggv. Apa itu Diagram ggv?

Sebelumnya, perlu dipahami dulu definisi kecepatan dan percepatan. Kecepatan didefinisikan sebagai besarnya perubahan posisi sesuatu pada setiap satuan waktu. Sedangkan percepatan adalah perubahan kecepatan setiap satuan waktu. Karena kecepatan adalah termasuk besaran vektor yang memiliki nilai dan arah, maka percepatan ada dua jenis. Jenis pertama adalah percepatan akibat adanya perubahan nilai kecepatan, yaitu bisa berupa akselerasi ataupun deselerasi. Percepatan ini disebut percepatan longitudinal. Jenis kedua adalah percepatan akibat perubahan arah kecepatan yang dinamakan percepatan lateral dan diakibatkan oleh gaya sentrifugal saat mobil berbelok.

Dalam dunia balap, percepatan sering dinyatakan dalam satuan “g”, yaitu percepatan akibat gravitasi bumi yang besarnya 9.8 m/s2. Perbandingan dengan gravitasi ini memudahkan kita dalam membayangkan percepatan yang terjadi. Sebagai contoh, mobil yang berakselerasi dengan percepatan sampai 1g mempunyai percepatan yang sama dengan percepatan benda yang jatuh akibat gravitasi bumi. Sedangkan percepatan lateral sebesar 1g berarti keempat roda mobil akan menahan beban sebesar 1 kali bobot total mobil ke arah samping berlawanan dengan arah belokan, sementara pembalap di dalamnya juga menahan beban sebesar 1 kali bobot tubuhnya sendiri. Bisa dibayangkan bagaimana penderitaan pembalap F1 yang mobilnya mampu berbelok dengan percepatan lateral lebih dari 4g dan bahkan berdeselarasi hampir 5g!

Percepatan lateral terjadi akibat gaya sentrifugal saat mobil berubah arah, sehingga besarnya pun bergantung pada gaya sentrifugal. Gaya sentrifugal yang bekerja pada sesuatu yang bergerak tidak di garis lurus adalah massa benda dikalikan dengan kuadrat kecepatan dan dibagi dengan jari-jari kurva belokan atau secara notasi biasa dinyatakan dalam:

Fcentrifugal = m (V^2/R)

m adalah massa benda, V adalah kecepatan benda, dan R adalah jari-jari kurva belokan. Karena percepatan adalah gaya dibagi massa benda, maka percepatan lateral bisa dinyatakan sebagai (V2/R). Artinya, percepatan lateral akan meningkat jika kecepatan mobil makin cepat (dengan kenaikan yang kuadratis) dan/atau mobil berbelok makin tajam (R makin kecil).

Dalam hal performa, hanya ada empat kemampuan dasar yang menjadi ukuran kehebatan suatu mobil balap, yaitu:
• Kecepatan maksimum yang mampu dicapai
• Kemampuan berakselerasi
• Kemampuan berdeselerasi
• Kemampuan berbelok dengan cepat dan tajam
Semua teknologi yang terlibat di dalam mobil F1 bertujuan untuk meningkatkan empat kemampuan di atas. Karena itu, ukuran atas performa mobil balap hanya diwakili oleh empat faktor tersebut.

Jika percepatan longitudinal dan lateral pada kecepatan tertentu diplot dalam satu bidang datar, maka diagram g-g seperti di samping akan terbentuk. Sumbu vertikal adalah percepatan longitudinal dan percepatan lateral di sumbu horizontal. Garis pada diagram itu adalah batas kemampuan mobil sehingga kondisi percepatan mobil saat balapan akan selalu berada di dalam kurva g-g itu. Mobil tidak boleh dioperasikan di luar kurva itu, jika tidak ingin melintir ke luar lintasan. Namun demikian, pembalap dituntut untuk selalu malajukan mobilnya pada garis batas diagram itu agar kemampuan mobil dapat dimanfaatkan secara maksimal. Satu kotak mewakili 1g, sehingga nampak bahwa kemampuan berdeselerasi dan percepatan lateral (ke kiri dan ke kanan) mobil F1 bisa lebih dari 4g!

Untuk mobil-mobil balap modern yang menghasilkan downforce yang cukup besar, bentuk diagram ini bisa sedikit berubah-ubah. Jika setingan sudut sayap ditingkatkan sehingga downforce meningkat, maka kemampuan pengereman dan percepatan lateral akan sedikit meningkat sementara kemampuan akselerasi sedikit menurun akibat terbatasnya kemampuan mesin untuk mengatasi meningkatnya dragforce.

Jika diagram g-g itu diplot pada tiap tingkat kecepatan, maka terbentuklah diagram 3 dimensi g-g-V diagram seperti terlihat pada gambar di samping, dengan sumbu tegak mewakili kecepatan (V).

Gambar yang terakhir menampilkan perbandingan antara diagram g-g-V antara mobil-mobil balap F1 yang pernah diciptakan. Mobil Mercedes W196 adalah mobil hebat milik Fangio di tahun 1955 dan merupakan mobil generasi terakhir pada era mesin yang ditempatkan di depan pembalap. Tampak performa Mercedes W196 bermesin 2.5L 8 silinder dengan tenaga 280 BHP masih sangat jelek (walaupun hebat di jamannya). Kemampuan akselerasinya kurang dari 0.5g, dan pengereman hanya 0.95g karena teknologi disc brake belum digunakan. Maksimum percepatan lateral belum mencapai 1g karena pemanfaatan downforce yang belum optimum (mobil ini belum memanfaatkan sayap untuk memberikan downforce), serta grip ban yang masih sangat buruk karena lebar bannya hanya 7 inch. Mobil Lotus Ford T72 di tahun 1971 sudah jauh lebih baik karena telah memanfaatkan sayap-sayap dan ban lebar (sampai 20 inch) untuk memaksimalkan grip. Percepatan lateral Lotus T72 mampu mencapai 2g.

Revolusi besar terjadi di awal tahun 80-an berkat pemanfaatan ground effect dan side skirt serta penemuan material CFRP (Carbon Fibre Reinforced Plastic) untuk material bodi mobil dan komponen lainnya. Di tahun 1983 Lotus T95 bermesin Renault 1500cc turbocharger mampu berpercepatan lateral hampir 4g!

Di tahun 1984 side skirt dilarang dan pada 1989 turbocharger pun dilarang. Namun performa mobil F1 terus meningkat dengan berkembangnya ground effect karena fungsi diffuser makin optimal. Puncak performa mobil ada pada tahun 1994 sebelum tragedi tewasnya Ayrton Senna di Imola. “Mobil super” Williams FW15 tahun 1993 bahkan mempunyai kemampuan pengereman sebesar 5g dan percepatan lateral 4.5g! Performa luarbiasa mobil ini sangat dipengaruhi oleh teknologi suspensi aktif yang amat beasar peranannya dalam memaksimalkan grip ban.

Setelah Senna meninggal, FIA membatasi banyak hal untuk mengurangi downforce agar kecepatan dan percepatan mobil berkurang. Namun demikian, perkembangan teknologi otomotif terus melaju pesat. Mobil Ferrari F300 di tahun 1998 bahkan masih mampu menyamai performa Williams FW15 walaupun mesinnya lebih kecil 500cc dan downforce sudah banyak berkurang.


Berkawan Dengan Angin

Dengan tenaga mesin yang lebih dari 700 BHP (Brake Horse Power) dan bobot mobil yang tak lebih dari 700 kg, mobil balap F1 rawan sekali terhadap skid atau kondisi dimana roda berputar lebih cepat dari semestinya. Kondisi ini harus dihindari karena, tentu saja, mengurangi kecepatan berakselerasi dan dapat mengakibatkan sliding yang sangat berbahaya.

Untuk mengatasinya, ada dua cara yang dapat ditempuh. Pertama adalah dengan meningkatkan koefisien gesek atau grip ban. Ini bisa dilakukan dengan menambah lebar ban dan/atau meningkatkan kualitas kompon ban. Kedua adalah dengan menambah gaya normal aspal terhadap ban. Gaya ini identik dengan jumlah gaya dari ban yang menekan aspal dimana jumlah gaya itu adalah berasal dari berat mobil dan gaya tekan ke bawah (downforce).

Dengan keterbatasan yang diberikan oleh FIA lewat regulasinya, menambah lebar ban jelas tidak mungkin dilakukan. Menambah bobot mobil juga akan merugikan karena justru mengurangi kemampuan mobil untuk berakselerasi dan membuat gaya sentrifugal saat berbelok jadi makin besar sehingga mobil gampang terlempar keluar lintasan. Cara yang paling populer adalah dengan memberikan downforce yang cukup pada mobil sehingga ban dapat selalu “melekat” di atas aspal. Sayangnya penambahan downforce ini selalu disertai dengan efek-efek negatif lainnya berupa peningkatan dragforce (hambatan angin terhadap mobil), efek turbulensi, stall dan lain-lain. Secara sederhana, efek akibat aliran udara terhadap mobil dan komponennya di atas dinamakan efek aerodinamika.

Pada era balapan modern dewasa ini, efek aerodinamika hampir sama pentingnya, jika tidak bisa dikatakan lebih penting, dengan faktor power mesin. Sebagai bukti, kita bisa bandingkan performa Tim Ferrari dan Tim Sauber di musim 2004 yang jauh berbeda walau mereka menggunakan mesin dan ban yang sama.

Efek aerodinamika ini bersifat kompleks dan multi faktor sehingga amat sulit dihitung dan dianalisis di atas kertas. Untuk menganalisisnya, para insinyur aerodinamika mendesain fasilitas pengujian yang dinamakan terowongan angin (wind tunnel). Di terowongan angin ini, angin dihembuskan oleh kipas (fan) berdiameter besar dengan kecepatan tertentu untuk mensimulasikan kondisi dimana mobil menghantam angin saat balapan.

Pada terowongan angin, mobil diletakkan secara statis dengan beberapa titik tumpuan. Titik tumpuan biasanya ada di keempat roda dan satu titik di atas mobil. Sensor gaya diletakkan di semua titik tumpuan mobil dan mengukur besarnya gaya di dua arah, arah longitudinal (searah arah angin) untuk mengukur hambatan angin terhadap mobil (dragforce) dan gaya arah vertikal atas-bawah untuk menghitung gaya tekan ke bawah atau gaya angkat (downforce atau liftforce).

Secara umum, terowongan angin dibedakan atas 2 jenis, yaitu terbuka dan tertutup. Seperti namanya, terowongan terbuka mempunyai sirkuit yang terbuka di bagian depan dan belakangnya. Karena itu angin yang digunakan untuk tes berasal dari udara luar yang terisap masuk ke dalam terowongan dan kemudian akan dibuang kembali ke udara luar di bagian belakang terowongan. Terowongan jenis ini punya kelemahan yang amat mengganggu yaitu sangat tergantung pada kondisi udara luar seperti kecepatan angin, serta temperatur, dan tekanan udara.

Terowongan jenis kedua adalah jenis tertutup. Terowongan ini mempunyai keunggulan yang sangat penting dibanding jenis pertama yaitu tenaga untuk menggerakkan kipasnya lebih kecil. Hal ini dapat dimengerti sebab pada sirkuit tertutup tentu saja angin akan terus bergerak berputar sepanjang terowongan. Dengan demikian, fungsi kipas hanya untuk melawan kerugian tekanan angin akibat gesekannya dengan dinding-dinding terowongan saja.

Karena biaya investasi yang murah namun biaya operasi yang tinggi, terowongan angin jenis terbuka biasanya berdimensi kecil dan dimiliki oleh lembaga-lembaga non komersial seperti laboratorium penelitian dan perguruan tinggi. Sedangkan terowongan angin jenis kedua banyak dimiliki oleh pabrik-pabrik mobil terkemuka dan tim-tim balap mobil.

Aliran angin di dalam terowongan angin harus dibuat semirip mungkin dengan kondisi sebenarnya. Simulasi ini tidak mudah karena banyak kendala yang menuntut banyak modifikasi dan inovasi.

Masalah pertama adalah ukuran model mobil yang akan dites. Para insinyur aerodinamika menginginkan ukuran model yang sama persis dengan mobil aslinya dengan alasan lebih mudah membuat detail-detail kecil seperti lubang radiator, lekukan sayap dan sebagainya. Selain itu aliran turbulensi udara yang dihasilkan model yang seukuran dengan mobil asli akan semakin mendekati turbulensi udara yang sebenarnya akan terjadi. Turbulensi ini adalah kondisi yang amat tidak disukai oleh para insinyur aerodinamika karena memberikan efek negatif terhadap efek aerodinamika secara keseluruhan. Namun demikian, aliran turbulen amat sulit untuk dihindari. Karena itu aliran turbulen ini harus disimulasikan semirip mungkin dengan kondisi sebenarnya.

Namun demikian, membuat ukuran model sama dengan mobil aslinya bukanlah pilihan yang paling ideal. Semakin besar ukuran model, semakin dekat pula permukaan model dengan dinding terowongan angin. Kondisi ini membuat semacam penyempitan jalannya angin di sekitar model sehingga membuat aliran angin lebih cepat lajunya. Tentu saja kondisi ini tidak diinginkan karena membuat simulasi menjadi tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya yang terjadi di jalanan. Dengan pertimbangan ini, semakin kecil model, akan semakin baik, karena pola aliran angin di sekitar model menjadi lebih mirip kondisi di jalanan. Sayangnya, ukuran model ini berbanding terbalik dengan laju udara yang harus dihasilkan oleh kipas. Untuk model dengan ukuran 1/5 dari mobil aslinya, laju udara simulasi harus dibuat 5 kali lebih cepat daripada kondisi sebenarnya agar pola turbulensi yang terbentuk mirip dengan kondisi sebenarnya. Dengan demikian, berarti semakin kecil model, biaya operasi tes menjadi semakin besar karena kipas harus berputar lebih cepat. Dengan kedala-kendala di atas, para insinyur aerodinamika harus benar-benar memikirkan ukuran model yang paling ideal sesuai dengan fasilitas dan kemampuan terowongan angin yang dimilkinya.

Masalah kedua adalah simulasi laju udara di kolong mobil. Pada kondisi di jalanan, udara di kolong mobil dan aspal dalam kondisi diam sedangkan mobil dalam kondisi melaju. Maka udara di kolong mobil berada di antara dua permukaan, satu permukaan diam dan satu lagi permukaan yang bergerak. Pada terowongan angin, udara di kolong mobil bergerak di antara dua permukaan diam. Kondisi ini membuat tekanan statis di kolong mobil menjadi jauh lebih rendah daripada kondisi di jalanan atau dengan kata lain terjadi ground effect berlebihan. Tentu saja ini menjadi masalah karena membuat simulasi, lagi-lagi, tidak sesuai dengan kondisi aslinya. Untuk mengatasinya, para insinyur aerodinamika membuat lantai yang bisa bergerak sesuai dengan laju angin. Lantai ini terbuat dari karet dan menyerupai belt conveyor. Kendala yang timbul adalah kemampuan bergerak lantai yang terbatas dan sulit menyamai laju angin di dalam terowongan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah rolling resistance atau hambatan putar roda akan membuat pengukuran terhadap dragforce menjadi kurang akurat. Namun demikian, semua kendala ini bisa diminimalkan dengan bantuan modifikasi terhadap hasil-hasil tes dengan beberapa persamaan empiris dari hasil pengujian lain, digabungkan dengan analisis aerodinamika oleh program komputer berbasis komputasi dinamika fluida.

Tim F1 yang baru-baru ini membangun fasilitas terowongan angin baru adalah Sauber dan Honda. Terowongan angin mereka tergolong canggih, berjenis close circuit dengan fasilitas rolling platform (lantai berjalan) yang kecepatan gerak lantainya bisa menyamai kecepatan angin maksimum sebesar 300 km/j. Luas penampang pada area tes adalah 15 m2 sehingga memungkinkan mengetes model mobil dengan skala 1:1. Yang istimewa dari terowongan angin Sauber ini adalah area tesnya relatif lebih panjang daripada terowongan angin lainnya sehingga memungkinkan melakukan tes terhadap 2 model berskala 60% sekaligus yang diletakkan dalam posisi depan-belakang. Posisi pengetesan seperti ini berguna untuk menguji efek turbulensi angin yang dialami oleh mobil di belakang akibat gangguan aliran angin dari mobil di depannya. (ro


Teknologi-Teknologi Terlarang
Mobil F1 modern mampu melesat 100 km/j dari kondisi diam hanya dalam waktu sekitar 2 detik. Ini kemampuan luarbiasa yang tidak akan dapat disamai oleh mobil sport jenis apapun. Namun ternyata tidak semua teknologi pada mobil F1 merupakan teknologi yang tercanggih di dunia otomotif. Beberapa sistem dan komponen mobil F1 justru kalah canggih dibanding mobil biasa di jalanan. Mengapa demikian?

Jawabannya adalah regulasi FIA. FIA sebagai ”wasit” bagi balapan F1 amat rajin membuat regulasi untuk membatasi kecepatan mobil F1. Sebab selain karena keselamatan pembalap, pembatasan kecepatan juga terkait dengan alasan nonteknis yaitu membuat balapan lebih menarik ditonton. Sebab makin cepat mobil-mobil balap berlaga di sirkuit, makin sedikit aksi saling susul yang akan terjadi. Ini karena waktu tempuh mobil-mobil itu di jalur lurus semakin singkat sehingga pembalap yang akan menyusul mempunyai waktu yang makin sempit untuk membuat perbedaan kecepatan dengan pembalap di depannya. Di lain pihak, akselerasi pada kecepatan tinggi justru makin sulit dilakukan karena hambatan angin yang makin besar.

Dalam sejarahnya, perubahan regulasi FIA hampir tiap tahun dilakukan. Ini karena kemajuan teknologi ternyata jauh lebih pesat daripada pembatasan yang diberlakukan. Berikut beberapa teknologi inovatif yang pernah dimanfaatkan oleh mobil F1 namun kemudian diharamkan.

Penggunaan turbin gas sebagai penggerak menggantikan motor bakar torak. Sebagai salah satu jenis penggerak tertua, motor bakar punya banyak kelemahan dibandingkan turbin gas yang lebih belakangan ditemukan. Turbin gas menghasilkan power lebih tinggi dengan bobot yang lebih ringan daripada motor bakar atau dengan kata lain turbin gas punya power-weight ratio yang lebih baik. Kelebihan turbin yang lain adalah putarannya sangat cepat, sampai 60 ribu rpm, bandingkan dengan engine F1 modern yang ”hanya” mampu berputar 19 ribu rpm. Turbin gas juga lebih sedikit memproduksi getaran karena tidak ada komponen yang bergerak translasi (maju-mundur) seperti halnya motor bakar. Kerena itu, secara umum lifetime turbin gas lebih panjang daripada motor bakar. FIA melarang penggunaan turbin ini setelah tim Lotus mengujicobakan mobil T56B mereka yang bertenaga turbin gas merk Pratt & Whitney di tahun 1971. Larangan FIA ini sebetulnya ”mubazir” karena toh tim Lotus membuktikan bahwa penggunaan turbin gas sebagai penggerak mobil ini sebenarnya tidak cocok untuk F1. Kelemahan yang dirasakan antara lain adalah turbin gas lambat merespon perubahan bukaan gas dari kaki pembalap sehingga sulit melahap chicane serta tidak adanya efek engine-brake yang sangat dibutuhkan mobil F1.

Turbocharger/supercharger adalah piranti yang amat sering dimanfaatkan mobil balap. Di F1, alat ini justru dilarang walau pernah juga diperbolehkan. Di tahun 1966 FIA untuk pertamakalinya membolehkan pemakaian turbocharger. Pembolehan ini dilatarbelakangi oleh perubahan batasan volume engine dari 1500cc menjadi 3000cc. Saat itu beberapa tim kecil memprotes regulasi itu karena mereka belum mampu membuat engine baru bervolume 3000cc. Solusinya, FIA membolehkan turbocharger digunakan khusus untuk engine 1500cc agar mampu bersaing dengan engine 3000cc. Uniknya, walau telah dibolehkan, tidak satupun tim yang mengambil opsi turbo ini sebab mereka berpendapat turbo-engine 1500cc masih belum bisa menandingi power dari normally-aspirated-engine 3000cc. Renault adalah tim yang pertamakali mengambil tantangan ini jauh setelah regulasi itu dikeluarkan yaitu di tahun 1977. Saat itu Renault berani mencoba turbo-engine 1500cc untuk melawan engine yang lebih besar karena mereka ingin mempromosikan mobil komersial mereka yang bertenaga turbo. Pada kenyataannya, walau lebih powerfull, mesin turbo 1500cc tetap saja kalah dengan mesin normal 3000cc karena konsumsi bahan bakarnya yang jauh lebih boros dan bermasalah pada pengendalian mobil akibat kurang responsifnya rpm mesin terhadap gerakan pedal gas pembalap. Akhirnya, justru BMW yang pertamakali merasakan juara dengan mesin turbo di tahun 1981, sesuatu yang tidak pernah dirasakan oleh Renault, sang pelopor. Turbocharger akhirnya benar-benar dilarang FIA di tahun 1987.

CVT Williams FW15Continously Variable Transmision (CVT) adalah piranti pengganti gearbox yang memungkinkan engine beroperasi pada RPM-band yang sempit sehingga torsi maksimum bisa terus dipertahankan. Williams adalah tim yang pertamakali mencoba mengembangkan teknologi ini sejak akhir tahun 70-an dan sempat diujicobakan pada mobil FW-15 nya yang bermesin Renault di tahun 1993. Namun ujicoba itu akhirnya hanya sebatas ujicoba sebab di akhir tahun yang sama FIA melarang penggunaannya untuk lomba.

Penggunaan fan (kipas) di belakang mobil untuk menghasilkan extra-downforce juga dilarang FIA. Alat ini sempat digunakan oleh tim Brabham dan Niki Lauda membuatnya menjuarai GP Swedia di tahun 1978.

Brabham Fan CarSideskirt atau sliding-skirt adalah piranti berbentuk mirip rok dan dipasang di sisi kiri & kanan bodi mobil bagian bawah. Alat ini berguna untuk mencegah aliran angin di kolong mobil mengalir ke samping mobil sehingga ground-effect dari kolong mobil bisa dimaksimalkan. Di tahun 1980 FIA melarang sideskirt dengan cara membatasi ground clearance menjadi minimum 6 cm. Dengan aturan itu, sideskirt tidak mungkin digunakan lagi karena jarak antara sideskirt dengan aspal tidak bisa dijaga mengingat gerakan suspensi yang membolehkan bodi mobil bergerak naik-turun. Namun demikian, insinyur-insinyur F1 tidak berhenti berimprovisasi. Di tahun 1988, mobil T88 dari tim Lotus memperkenalkan desain twin-chassis atau sasis ganda. Sasis pertama mempunyai suspensi yang amat keras terhadap roda dan sasis kedua mempunyai suspensi yang lebih lunak terhadap sasis pertama. Karena sasis pertama punya suspensi yang amat keras terhadap roda, maka jaraknya terhadap aspal bisa dijaga. Dengan membuat sasis pertama ini mirip plat yang mengelilingi sasis kedua, maka sasis pertama ini bisa berfungsi sebagai ”sideskirt” tanpa melanggar aturan ground-clearance minimum 6 cm itu. Namun demikian, twin-chassis ini akhirnya pun dilarang FIA.

Suspensi aktif adalah ”piranti ajaib” yang membantu Williams mendominasi musim balap 1992 dengan Nigel Mansell dan FW14Bnya. Suspensi aktif membuat suspensi mampu mengatur kekerasan peredamannya agar sesuai dengan kondisi jalan yang sedang dilaluinya. Dengan kondisi itu, keempat ban akan selalu mempunyai grip maksimum walaupun sedang melaju di trek bumpy dan banyak tikungan lambatnya. Piranti ini dilarang FIA di musim 1993.

Four-wheel-drive dan six-wheelers (mobil enam roda) adalah usaha untuk membagi torsi (baik pengeraman ataupun akselerasi) kepada lebih banyak roda. Dengan terbaginya torsi, maka grip ban akan meningkat sehingga menghasilkan akselerasi yang lebih baik serta pengereman yang lebih pakem. Four-wheel-drive pernah digunakan pada mobil BRM di awal 60-an sedangkan mobil enam roda pernah digunakan oleh Tyrell di tahun 1977 dan Williams 1981. Baik four-wheel-drive maupun six-wheelers dilarang FIA di tahun 1983.

Perkembangan teknologi memang menjadi daya tarik utama balapan F1. Regulasi FIA yang makin ketat justru menambah daya tarik itu karena bisa dipastikan teknologi-teknologi baru akan segera bermunculan dan tiap tahun kita tetap melihat mobil F1 yang selalu makin kencang.KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia


Mobil pun punya karakter

"Seperti manusia, mobil F1 memiliki karakter yang tak bisa dimengerti oleh semua orang. Dan cuma pembalap hebat yang bisa memahami karakter mobil sambil memaksimalkannya"

Saat tes terhadap mobil baru, tiga parameter yang selalu menyita perhatian si perancang mobil adalah power, grip, dan karakteristik mobil. Pemecahan masalah pada karakteristik mobil adalah yang paling rumit di antara ketiganya, sebab karakteristik mobil ditentukan oleh unsur-unsur dinamika kendaraan yang berasal dari banyak faktor saat mobil masih ada dalam tahapan desain.

Dalam dinamika, karakteristik mobil dipengaruhi oleh tiga macam gaya yaitu gaya pada arah longitudinal akibat torsi dari mesin yang disalurkan oleh ban pada saat mobil melaju di jalur lurus, gaya lateral dari samping yang timbul akibat gaya sentrifugal saat mobil berubah arah, dan gaya vertikal dari atas/bawah yang ditimbulkan oleh gaya berat mobil itu sendiri, downforce akibat efek aerodinamika, atau oleh permukaan jalan yang tidak rata. Dari tiga jenis gaya itu, mobil akan mengalami gerakan lurus maju, ke samping, maupun naik turun, juga gerakan berputar pada tiga sumbu yaitu sumbu vertikal yang membuat hidung mobil bergerak ke kiri/kanan (yaw), sumbu horisontal-longitudinal yang membuat mobil berguling (roll), dan sumbu horisontal-lateral yang membuat mobil mendongak/menukik (pitch). Dari semua jenis gerakan di atas, hanya gerakan maju dan yawing (asal masih dalam batas yang dapat terkontrol) yang tidak bersifat negatif terhadap mobil. Yawing yang berlebihan -atau understeer- tidak diinginkan, sebab akan membuat mobil tidak stabil.

Sensitifitas mobil terhadap semua jenis gerakan di atas dipengaruhi secara dominan oleh tiga hal, yaitu: (1) Distribusi berat mobil, (2) distribusi kekakuan terhadap rolling (roll stiffness distribution) dan (3) distribusi downforce dan grip ban

Distribusi berat mobil sering dikacaukan dengan pengertian terhadap posisi titik berat (center of gravity/COG). Padahal ada perbedaan. COG memang ditentukan oleh distribusi berat mobil. Tapi dua mobil yang mempunyai titik berat tepat di titik yang sama belum tentu punya distribusi berat dan karakterisitik dinamika yang sama. Secara ekstrem perbedaan itu bisa dianalogikan dengan membandingkan bola besi 1 kg dengan dumbel 1 kg. Keduanya punya berat yang sama dan posisi titik beratnya pun sama-sama di tengah. Namun memutar (bukan menggelindingkan) dumbel akan terasa lebih berat daripada memutar bola. Ini karena distribusi berat dumbel ada pada ujung-ujungnya. Fenomena dumbel ini tidak diinginkan pada mobil F1 sebab mobil F1 harus lincah dan mudah berubah arah secara cepat. Karena itu, distribusi berat mobil F1 sebisa mungkin harus terkumpul di tengah. Rata-rata, mobil F1 dewasa ini mempunyai frekuensi natural yawing (yawing natural frequency) hampir sebesar 4 Hz atau berarti mampu melibas empat chicane dalam sedetik. Bandingkan dengan mobil F1 zaman Juan Manuel Fangio saat mesin mobil masih diletakkan di depan. Saat itu mobil F1 hanya mempunyai kemampuan yawing-rate tak lebih dari 1 Hz.

Distribusi kekakuan terhadap rolling (roll stiffness distribution) adalah perbandingan kekakuan antara sumbu roda depan dan sumbu roda belakang. Selanjutnya distribusi ini mempengaruhi distribusi beban lateral di antara keempat roda. Jika kekakuan rolling cenderung pada poros belakang, maka saat berbelok ada kemungkinan salah satu roda depan akan kekurangan grip dan understeer adalah akibatnya. Sebaliknya jika kekakuan rolling cenderung ke depan maka mobil cenderung oversteer. Kondisi ideal adalah jika kedua sumbu roda dibuat amat kaku. Namun demikian hal ini sangat dibatasi oleh kekakuan rangka mobil, komponen-komponen di bagian sambungan suspensi dan juga kekakuan vertikal ban (kekerasan ban).

Distribusi downforce dihasilkan dengan memvariasikan setingan sudut sayap depan dan belakang. Kekurangan downforce pada kedua roda depan akan mengakibatkan mobil rawan terhadap understeering. Sebaliknya, kekurangan downforce pada poros belakang akan membuat mobil mudah untuk oversteer. Selama kondisinya tidak parah, understeer lebih mudah untuk diatasi oleh pembalap. Namun demikian, pembalap dengan skill yang baik juga dapat mengatasi oversteer.

Secara umum penyebab oversteer ada dua. Pertama adalah akibat beban pengereman yang terlalu besar di belakang. Hal ini dapat dikoreksi dengan sedikit menekan pedal gas dan mengoreksi sudut belokan dengan memutar setir. Kedua, adalah akibat kelebihan torsi pada roda belakang saat akselerasi. Untuk mengatasinya cukup mudah yaitu dengan sedikit mengangkat kaki dari pedal gas.

Secara teknis, mengurangi karakter negatif mobil tidaklah mudah. Selain karena batasan-batasan FIA dalam hal dimensi dan safety, beberapa usaha untuk mengurangi efek negatif suatu kondisi justru akan menambah efek negatif di sisi lain. Misalnya, efek rolling bisa dikurangi jika titik berat mobil dibuat sedekat mungkin dengan garis gaya untuk membuat mobil berbelok. Ini artinya mobil akan semakin kaku terhadap efek rolling jika titik beratnya sedekat mungkin dengan poros depan. Tapi, ini juga akan mengurangi yawing natural frequency, sehingga mobil menjadi tidak lincah dan lamban merespon keinginan pembalap untuk berbelok. Selain itu, grip ban belakang juga berkurang.

Karena itu, para perancang mobil harus memilih desain yang optimum agar didapat performa mobil yang terbaik. Satu-satunya usaha agar tidak menimbulkan efek negatif di sisi yang lain adalah membuat mobil seringan mungkin. Dengan mobil yang ringan, maka ballast (beban tambahan untuk memenuhi persyaratan berat minimum mobil) untuk pengaturan titik berat mobil bisa lebih fleksibel -tergantung jenis sirkuit yang akan dilalui. Di sirkuit yang punya banyak chicane, misalnya, biasanya titik berat digeser agak ke belakang dan rolling-stiffness untuk poros depan ditambah.

Yang menarik adalah karakteristik mobil ini bisa berubah dengan cepat pada saat lomba. Beberapa sirkuit memberikan respon yang berbeda pada ban depan dan belakang. Misalnya di Hockenheim (yang baru). Di sana, roda belakang (terutama yang kiri) akan lebih cepat botak. Michael Schumacher di tahun 2003 dan Kimi Raikonen di tahun 2002 adalah dua pembalap yang telah merasakan 'keanehan' ini. Keduanya mengalami pecah ban belakang kiri di akhir balapan. 'Termakannya' ban belakang kiri di Hockenheim disebabkan sirkuit itu banyak dihiasi trek lurus panjang yang didahului oleh tikungan lambat ke kanan. Saat melalui tikungan itu, pembalap akan menggeber habis mobilnya untuk mendapatkan speed yang bagus saat melibas trek lurus. Akibatnya ban belakang kiri menjadi ban yang paling tersiksa karena harus mengantarkan torsi mesin lebih besar daripada ban kanan belakang.

Pada akhirnya, performa maksimal sebuah mobil -yang memiliki karakter tertentu- tergantung dari sang pemakai alias pembalapnya. Dan respon pembalap terhadap perubahan karakteristik mobilnya lah yang membedakan pembalap dengan skill tinggi dengan pembalap biasa-biasa saja. Pembalap hebat akan dengan mudah mengenali degradasi kemampuan mobilnya dan tetap melajukan mobilnya pada hingga limit tanpa melakukan kesalahan. Kemampuan pembalap ini jugalah yang menjawab pertanyaan mengapa satu pembalap sering DNF sementara pembalap lainnya tidak.KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia

Sayap yang tak bisa bikin terbang

"Sayap pada pesawat membuat Boeing 737 yang berbobot lebih dari 45 ton mampu mengangkasa. Sementara pada mobil F1, sayap justru membuat mobil yang beratnya cuma 600 kg itu, tetap menjejak di bumi. Mengapa begitu? "

Meski nama -dan bentuknya- sama, sayap di pesawat dan sayap mobil Formula 1 punya fungsi yang berbeda. Pada pesawat, sayap berfungsi untuk menimbulkan daya angkat, sedangkan pada mobil F1 sebaliknya, yaitu untuk menekan mobil agar tetap 'melekat' di lintasan.

Mengingat bobotnya yang ringan -cuma 600 kg termasuk pembalap, mobil Formula 1 amat membutuhkan sayap untuk memberikan downforce (gaya tekan ke bawah) agar ban tetap 'menggigit' aspal. Pada kecepatan lebih dari 200 km/j, sayap-sayap itu bahkan memberikan downforce lebih besar daripada bobot mobilnya sendiri.

Sayap mulai dimanfaatkan mobil-mobil F1 pada era 1960-an. Saat itu bentuknya masih amat sederhana yaitu berupa plat mendatar yang dipasang di bagian belakang mobil dengan sudut tertentu. Namun bentuk sayap terus berubah karena sayap juga memberikan efek negatif berupa hambatan angin (dragforce). Idealnya, tim F1 ingin agar sayap menghasilkan downforce yang besar dengan dragforce sekecil mungkin. Untuk itu orang menciptakan parameter L/D (lift to drag ratio) atau perbandingan gaya angkat (atau gaya tekan jika dalam arah negatif) terhadap gaya hambat angin. Semakin besar L/D, semakin efisien kondisi aerodinamika suatu mobil.

Untuk memaksimalkan nilai L/D, hal-hal yang menjadi faktor timbulnya downforce dan dragforce amat diperhatikan. Dragforce ditimbulkan oleh tiga hal; pertama adalah akibat aliran angin yang terpisahkan oleh leading-edge (bagian sayap terdepan yang menabrak angin pertama kali). Faktor kedua, gesekan angin pada permukaan sayap atau sering disebut friction-drag. Faktor terakhir adalah akibat terciptanya kondisi 'vakum' di belakang sayap yang disebut induced-drag.

Sementara downforce diakibatkan oleh dua faktor. Pertama, momentum yang akibat 'tabrakan' angin pada permukaan atas sayap. 'Tabrakan' ini timbul karena sayap membentuk sudut terhadap arah angin. Dalam ilmu mekanika sudut ini disebut angle-of-attack atau sudut serang. Semakin besar sudut serang, semakin besar pula downforce yang ditimbulkan. Faktor kedua adalah fenomena fisika yang dirumuskan oleh Persamaan Bernoulli. Menurut Bernoulli, semakin cepat aliran angin, semakin kecil tekanan statis yang ditimbulkannya. Dengan memanfaatkan fenomena itu, insinyur F1 mendesain penampang sayap dengan permukaan bagian bawah lebih melengkung daripada permukaan atasnya. Dengan demikian aliran angin di bawah sayap harus menempuh perjalanan lebih panjang untuk mencapai trailing-edge (bagian ekor dari sayap) dibanding aliran angin di atas sayap. Kondisi itu menyebabkan angin di bawah sayap mengalir lebih cepat sehingga tekanan-statisnya lebih rendah daripada tekanan di permukaan bagian atas. Akibatnya, sayap akan 'terhisap' ke bawah dan downforce pun terjadi.

Dalam kondisi ekstrem, kecepatan aliran angin di bawah sayap bisa dibuat lebih cepat lagi jika sayap dibuat sedekat mungkin dengan permukaan aspal (ini hanya bisa dilakukan pada sayap depan). Pada keadaan seperti itu, aliran angin menjadi lebih cepat karena luas penampang aliran menjadi sempit. Downforce tambahan karena efek ini disebut ground-effect. Downforce akibat ground-effect mempunyai kelebihan dibanding downforce pada sayap biasa karena dragforce yang ditimbulkannya amat kecil. Namun demikian mobil F1 dewasa ini tidak leluasa memanfaatkan ground-effect karena FIA membatasi jarak minimum sayap depan terhadap aspal serta keharusan mobil memiliki permukaan bawah yang rata.

Dengan memahami faktor-faktor di atas, dragforce dapat diminimalkan dengan cara membuat permukaan sayap semulus mungkin serta membuat bentuk penampang sayap yang aerodinamis. Sementara itu, peningkatan downforce secara mudah dapat dilakukan dengan menambah sudut serang, tapi harus penuh perhitungan. Sebab selain menambah dragforce, sudut serang yang berlebihan juga menimbulkan kondisi stall yaitu hilangnya downforce secara mendadak dan meningkatnya dragforce secara signifikan.

Kondisi itu disebabkan adanya pemisahan aliran angin di bawah sayap. Berbeda pada pesawat terbang di mana stall terjadi akibat perubahan sudut serang, pada mobil F1, stall dapat terjadi saat mobil melaju amat kencang. Karena pada keadaan tersebut kemungkinan terjadinya pemisahan aliran angin semakin besar. Risiko stall ini dapat diminimalkan dengan pemanfaatan elemen sayap yang berlapis. Semakin banyak elemen sayap, semakin besar sudut serang sayap yang dapat dimanfaatkan tanpa khawatir terjadi stall pada kecepatan tinggi. Namun demikian, sejak musim 2004 ini, FIA membatasi jumlah elemen sayap belakang menjadi maksimum 2 saja.

Bagian paling sensitif dari sayap adalah trailing-edge (bagian ekor sayap). Downforce dapat berubah secara tajam hanya dengan melakukan sedikit perubahan pada bagian ini. Itulah sebabnya sayap pesawat memanfaatkan flaps (elemen di bagian ekor dari sayap yang dapat memanjang dan memendek sesuai kebutuhan). Pada mobil F1, penggunaan flaps yang fleksibel seperti itu tak mungkin dilakukan karena regulasi FIA. Namun demikian, bagian ekor sayap tetap merupakan bagian yang paling banyak diutak-atik oleh para insinyur F1. Contohnya adalah penggunaan bilah kecil vertikal pada sayap depan dan Bilah Gurney pada sayap belakang. Dengan tambahan elemen kecil itu, aliran angin di bagian bawah sayap terbukti lebih efektif memberikan tekanan rendah untuk manambah downforce.

Kinerja sayap juga dipengaruhi oleh dimensinya. Satu besaran penting dalam mendesain sayap adalah Aspect-Ratio (AR) yaitu perbandingan antara span (panjang sayap) dengan chord (lebar sayap). Kondisi yang paling ideal adalah span dibuat amat panjang dan chord dibuat sempit atau dengan kata lain AR harus sebesar mungkin. AR yang besar mengurangi kemungkinan terjadinya tip-vortices atau kondisi di mana aliran di permukaan atas mengalir ke bawah melalui sisi-sisi sayap (tips). Mobil F1 yang memiliki AR amat terbatas (karena lebar maksimum mobil dibatasi oleh regulasi FIA) mengatasi masalah ini dengan memanfaatkan end-plates atau plat vertikal yang terpasang di kiri dan kanan sayap. Dengan end-plate ini, efektifitas sayap meningkat hingga menyamai performa sayap yang 9 kali lebih panjang. Dimensi lainya adalah tebal sayap. Semakin tipis sayap, dragforce akan berkurang tapi downforce juga menurun dan kerawanan terhadap stall meningkat.

Posisi sayap relatif terhadap mobil juga penting. Dari berbagai eksperimen, sayap yang diletakkan di antara kedua sumbu roda terbukti tidak efektif. Itulah sebabnya sayap depan diletakkan sejauh mungkin di depan roda depan dan sayap belakang diletakkan sejauh mungkin di belakang roda belakang. Di antara dua sumbu roda (depan dan belakang) memang masih sering terlihat tambahan elemen-elemen sayap kecil. Namun demikian, elemen-elemen itu lebih berfungsi sebagai 'pengarah-angin' daripada sebagai sayap aktif yang menyumbangkan downforce.KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia

Suspensi tak selalu bikin nyaman
"Mengendarai mobil F1 memang bisa jadi sensasi tersendiri, namun jangan pernah membayangkan bahwa naik mobil F1 itu senyaman mobil jalan raya"

Salah satu peranti yang menentukan dalam sebuah mobil adalah suspensi, yaitu peranti untuk menahan atau meredam getaran yang diterima mobil akibat kondisi jalan yang beragam. Mobil akan terasa nyaman dikendarai jika suspensinya bisa memberikan peredaman getaran yang optimal sehingga penumpang dalam kabin tidak merasakan getaran akibat jalan yang tidak rata ataupun efek rolling saat mobil menikung. Tak heran bila kemudian pada mobil komersial, kenyamanan berkendara sering dihubungkan dengan kualitas suspensinya. Namun pada mobil Formula 1, kenyamanan penumpang sama sekali tidak menjadi perhatian para perancang suspensi. Fungsi utama suspensi pada mobil F1 adalah membuat keempat ban selalu bisa menapak ke aspal semaksimal mungkin saat jalanan tidak rata ataupun saat mobil sedang menikung tajam.

Walau fungsinya agak berbeda, suspensi pada mobil komersial dan mobil F1 sama-sama terdiri dari dua komponen penting yaitu pegas dan damper. Bedanya, pegas dan damper pada mobil F1 jauh lebih keras dibanding pegas dan damper pada mobil biasa. Belakangan, pegas mobil F1 pun pun berubah bentuk menjadi torsion bar (batang puntir), bukan lagi per keong seperti pada mobil jalan raya. Gaya pada roda mobil F1 akan diterima oleh push rod (batang tekan) yang kemudian akan memutar semacam engsel dan akhirnya memuntir torsion-bar. Gaya reaksi dari torsion-bar akibat puntiran ini yang dimanfaatkan sebagai efek pegas. Torsion bar mempunyai keunggulan dibanding pegas jenis per keong karena lebih ringan, lebih kecil, dan tidak mengalami bending atau lendutan saat ditekan. Kekakuan dari torsion bar bisa divariasikan melalui dimensinya.

Jauh sebelum sekarang, mobil F1 di era 1950-an masih mempunyai suspensi yang amat sederhana dan mirip dengan suspensi mobil pada umumnya, yaitu berupa damper yang dililit pegas per keong. Suspensi diletakkan secara diagonal dari wishbone bawah pada roda ke moncong mobil bagian atas. Konstruksi ini cukup kokoh dan membantu wishbone bawah dalam mengatasi beban tekan akibat gaya pada roda. Namun konstruksi ini punya kelemahan penting berupa hambatan angin pada suspensi (terutama suspensi roda depan). Di awal 1960-an posisi suspensi dipindahkan ke bagian dalam -atau sengaja ditutupi- moncong mobil dan posisinya digantikan oleh push rod yang langsung menerima beban dari roda. Selanjutnya push rod akan meneruskan gaya tekan tersebut kepada suspensi melalui rocker-arm atau engsel. Konstruksi ini secara umum dianggap cukup berhasil karena mampu mengurangi drag-force secara signifikan dan secara prinsip tetap dipakai sampai sekarang.

Di tahun 1974, Gordon Murray sempat mengujicobakan pull rod pada sistem suspensi Brabham BT44 nya. Prinsip kerja pull rod adalah kebalikan dari push rod karena posisinya juga saling berkebalikan. Pull rod menghubungkan wishbone atas pada roda dengan sistem suspensi yang terletak di bagian lantai dari moncong mobil. Kelebihan pull rod dibanding push rod adalah posisi suspensi bisa diletakkan di bagian bawah sehingga merendahkan titik berat mobil. Namun demikian sistem ini punya kelemahan yang baru disadari kemudian yaitu batang pull rod justru memberikan tambahan gaya tekan pada wishbone atas. Akibatnya wishbone atas menjadi lemah dan harus diperkuat dengan memperbesar dimensi wishbone atas. Namun demikian, konstruksi ini sempat dicoba lagi oleh Tim Minardi di musim 2000 demi mengejar titik berat yang rendah meski tak dilanjutkan di musim berikutnya.

Agar berfungsi secara optimal, setingan pegas dan damper harus pas dan sesuai dengan kebutuhan. Secara umum suspensi pada mobil F1 dibuat amat kaku karena walaupun bobot total mobil dan pembalapnya hanya 600 kg, akibat downforce pada kecepatan 300 km/j, beban yang dipikul keempat suspensi menjadi hampir 3 ton atau dua kali lebih berat daripada mobil biasa. Jika suspensi tidak cukup kaku, maka mobil akan 'terbenam' dan menghantam aspal karena ride height atau jarak lantai mobil dengan aspal hanya sedikit lebih tinggi daripada 5 cm saja.

Namun demikian, jika suspensi dibuat terlalu kaku, tentu tugasnya untuk membuat ban selalu menapak aspal menjadi tidak optimal dan ketahanan mobil terhadap efek rolling menjadi berkurang. Untuk itu, kemudian insinyur khusus suspensi menciptakan damper ketiga yang diletakkan di tengah dan terhubung pada antiroll-bar. Antiroll-bar sendiri adalah batang yang menghubungkan suspensi kiri dan kanan dan bertugas mentransfer sebagian gaya yang diterima roda kanan ke roda kiri (atau sebaliknya) sehingga efek rolling dapat dikurangi. Dengan adanya damper ketiga itu, maka kekakuan dapat terjaga dan efek rolling tetap dapat diredam.

Kekakuan suspensi mobil F1 juga harus menyesuaikan dengan jenis sirkuit. Pada sirkuit yang bumpy dan banyak chicane, para teknisi akan mengeset suspensi menjadi lebih soft. Konsekuensinya, ride height harus sedikit ditambah dan steering-control menjadi kurang responsif. Sebaliknya, pada sirkuit yang banyak trek lurusnya, suspensi akan dibuat lebih kaku sehingga titik berat mobil bisa lebih rendah karena ride height bisa dikurangi, dan steering-control pun menjadi lebih responsif. Namun kerugiannya adalah mobil menjadi rawan terhadap rolling dan boros pemakaian ban.

Berbeda dengan pegas yang berfungsi meredam getaran dan membuat ban selalu menapak aspal, damper justru berfungsi untuk mencegah pegas bekerja terlalu lama. Tanpa damper, pegas akan membuat mobil berayun tanpa henti sehingga justru akan membuat ban kehilangan sebagian grip. Cara kerja damper dalam memberikan peredaman adalah dengan memberikan tahanan viskositas fluida pada piston yang bergerak di dalam tabung. Saat piston bergerak sebagian fluida bergerak dari bagian bawah piston ke bagian atasnya melalui katup. Pada sedan-sedan mewah modern, bukaan katup ini bisa dikontrol oleh komputer sehingga kekerasan damper bisa disesuaikan dengan beban yang dialami. Suspensi dengan damper seperti ini disebut suspensi aktif karena karakternya bisa menyesuaikan diri dengan kondisi jalan. Pada F1, suspensi jenis ini pernah dipakai di awal 1990-an, namun kemudian dilarang karena hanya menguntungkan tim-tim kaya sehingga persaingan menjadi tidak berimbang.

Setingan damper harus menyesuaikan dengan kekakuan pegas. Kekuatan damper yang ideal adalah jika damper mampu membatasi ayunan yang terjadi menjadi satu siklus saja (naik dan turun satu kali). Damper yang terlalu lunak akan mengakibatkan mobil berayun berulang kali sedangkan damper yang terlalu keras akan menghambat kerja pegas dalam memberikan peredaman getaran.

Sampai saat ini teknologi suspensi mobil F1 terus berkembang pesat karena keunggulan di sisi ini cukup membuat jarak yang lumayan terhadap tim-tim kompetitor. Ferrrari 2003-GA bahkan telah menerapkan teknologi damper jenis baru yang disebut rotational damper. Damper baru di mobil Kuda Jingkrak ini sedikit lebih ringan dan jauh lebih kecil sehingga lebih sedikit memproduksi panas akibat gesekan.

Namun tetap saja jangan bayangkan naik mobil sang juara dunia itu senyaman mobil yang Anda tumpangi sehari-hari.
























Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih dan Tolong Komentari Demi Lebih Baiknya Blog Yang kami Buat.